Serangan WN China di Ketapang: Alarm Kedaulatan yang Tak Boleh Dianggap Sepele -->

Header Menu

Serangan WN China di Ketapang: Alarm Kedaulatan yang Tak Boleh Dianggap Sepele

Jurnalkitaplus
16/12/25



Jurnalkitaplus - Insiden penyerangan oleh 15 Warga Negara China terhadap seorang warga sipil dan lima anggota TNI di Ketapang, Kalimantan Barat, bukan sekadar “keributan lokal” di area tambang. Ini adalah alarm keras tentang betapa longgarnya pengawasan terhadap aktivitas asing di sektor ekstraktif, serta potensi ancaman terhadap kedaulatan hukum dan keamanan nasional.


Peristiwa dimulai dari penerbangan drone oleh empat WN China di area PT Sultan Rafli Mandiri (SRM). Drone di wilayah industri ekstraktif, apalagi tambang emas, bukan main-main—bisa menjadi instrumen pengintaian, pemetaan ilegal, hingga aktivitas yang menyentuh isu sensitif seperti keamanan nasional. Ketika Iwan, petugas pengamanan perusahaan, didampingi lima anggota TNI yang sedang latihan, mencoba menghentikan aktivitas itu, mereka justru diserang belasan WN China bersenjata sajam, airsoft gun, dan alat setrum.


Serangan terhadap aparat negara—meski mereka tak membawa senjata dalam latihan—adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi. Ini bukan persoalan “kesalahpahaman” biasa. Ini menunjukkan keberanian luar biasa dari sekelompok WN asing untuk menggunakan kekerasan di wilayah Indonesia. Pertanyaannya: dari mana mereka memperoleh senjata tajam, airsoft gun, dan perangkat setrum? Siapa yang memberikan mereka keberanian bertindak demikian?


Kerusakan mobil dan sepeda motor PT SRM hanya bagian kecil dari masalah ini. Yang jauh lebih penting adalah bahwa aparat TNI diserang, dan otoritas negara dilecehkan di tanahnya sendiri. Fakta bahwa laporan resmi belum dibuat oleh pihak perusahaan juga mengundang tanda tanya. Apakah ada tekanan? Apakah ada kekhawatiran hubungan korporasi-asing lebih diprioritaskan ketimbang kepastian hukum?


Pernyataan aparat bahwa "situasi kondusif" tidak cukup menjawab kegelisahan publik. Kondusif bukan berarti perkara selesai. Motif penerbangan drone masih belum jelas, apalagi motif penyerangan yang begitu terorganisasi. Klarifikasi harus berubah menjadi penyelidikan penuh, transparan, dan tegas.


Negara perlu memastikan bahwa setiap WNA yang bekerja atau berkegiatan di wilayah Indonesia tunduk pada hukum Indonesia. Tidak ada ruang bagi perilaku arogan, intimidatif, apalagi penyerangan bersenjata. Insiden ini harus menjadi momentum memperketat pengawasan WNA di kawasan industri strategis dan memastikan bahwa otoritas negara tidak dipermainkan oleh tindakan kriminal terorganisasi, apa pun asal pelakunya.


Peristiwa di Ketapang bukan sekadar penyerangan. Ini ujian bagi negara: apakah kedaulatan benar-benar ditegakkan, atau hanya menjadi jargon yang hilang di tengah kepentingan ekonomi. (FG12)