Masih Yakin Gajah yang Menghancurkan Ka'bah Itu Gajah Beneran? -->

Header Menu

Masih Yakin Gajah yang Menghancurkan Ka'bah Itu Gajah Beneran?

Jurnalkitaplus
25/01/25




Ketika membahas tentang kisah tentara bergajah yang dipimpin Abrahah untuk menghancurkan Ka'bah. Nama asli Abrahah adalah Abrahah bin Ash-Shabah Al-Habasyi (dalam beberapa sumber disebut Abrahah Al-Asyram).  banyak dari kita langsung membayangkan pasukan besar yang dipimpin oleh gajah-gajah perkasa. Kisah ini disebutkan dalam Al-Qur'an, khususnya dalam Surah Al-Fil. Namun, benarkah gajah dalam kisah ini adalah gajah dalam arti harfiah? Ataukah "gajah" hanya simbol dari kekuatan besar? Mari kita telaah beberapa alasan yang mungkin membuat kita mempertimbangkan kembali pemahaman tersebut.


1. Gajah Bukan Kendaraan Perang, Melainkan Kendaraan Kebesaran

Secara historis, gajah memang dikenal sebagai simbol kekuasaan dan kebesaran, bukan kendaraan perang yang efektif. Dalam peperangan, kuda atau unta lebih sering digunakan karena kecepatannya dan kemampuannya untuk melintasi medan berat. Gajah, meski tampak gagah, sebenarnya sulit dikendalikan dalam situasi yang menegangkan seperti peperangan. Selain itu, gajah cenderung mudah panik, apalagi ketika menghadapi suara keras atau serangan mendadak. Oleh karena itu, menggunakan gajah untuk tujuan militer, terutama untuk perjalanan jauh seperti dari Yaman ke Mekkah, menjadi sesuatu yang dipertanyakan.


Lebih dari itu, istilah "tentara bergajah" mungkin tidak harus diartikan bahwa mereka benar-benar menggunakan gajah. Kita bisa mengambil analogi seperti "Pasukan Siliwangi" dalam sejarah Indonesia. Nama ini menggambarkan kekuatan dan keberanian yang diasosiasikan dengan Raja Siliwangi, tetapi bukan berarti pasukan tersebut naik macan atau singa, seperti yang sering diasosiasikan dengan legenda mereka. Bisa jadi, "gajah" dalam kisah ini hanyalah simbol kebesaran pasukan Abrahah yang mencoba menunjukkan kekuatannya.


2. Jarak dari Yaman ke Mekkah: Naik Gajah Sama dengan Jalan Kaki

Jarak antara Yaman dan Mekkah sekitar 1.200 kilometer. Jika tentara Abrahah benar-benar menggunakan gajah, perjalanan itu akan memakan waktu yang sangat lama. Gajah bukanlah hewan yang bisa bergerak cepat dalam perjalanan jauh. Kecepatan rata-rata gajah saat berjalan hanyalah sekitar 4-5 km/jam, hampir setara dengan manusia yang berjalan kaki. Dengan jarak tersebut, perjalanan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Belum lagi, gajah membutuhkan waktu istirahat yang lebih lama daripada kuda atau unta, sehingga perjalanan mereka akan semakin lambat.


Jika kita membayangkan logistik perjalanan yang melibatkan gajah, hal ini tampak semakin sulit dipercaya. Oleh karena itu, bisa saja istilah "tentara bergajah" lebih bersifat simbolik untuk menggambarkan kebesaran atau ancaman dari pasukan Abrahah, tanpa harus melibatkan gajah secara fisik.


3. Gajah Memakan Rumput, Sedangkan Jalur Yaman-Mekkah Tidak Memiliki Padang Rumput

Gajah adalah hewan herbivora yang membutuhkan makanan dalam jumlah besar, yaitu sekitar 150-200 kilogram per hari atau gajah harus membutuhkan makanan 10% dari berat badannya. Jalur dari Yaman ke Mekkah sebagian besar terdiri dari gurun yang kering dan tandus, tanpa padang rumput yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makan gajah-gajah tersebut. Dalam kondisi seperti ini, membawa gajah berarti menambah beban logistik yang sangat besar. Pasukan harus membawa makanan tambahan dalam jumlah besar hanya untuk memenuhi kebutuhan gajah, yang justru memperlambat perjalanan mereka.


Refleksi: Apakah "Gajah" yang Dimaksud Bersifat Simbolis?

Menggunakan pendekatan simbolis, kisah ini tidak harus diartikan secara harfiah. Dalam tradisi Islam dan sejarah pada umumnya, nama-nama atau istilah sering digunakan untuk melambangkan sesuatu yang lebih besar. "Tentara bergajah" mungkin melambangkan pasukan yang kuat, besar, dan penuh percaya diri, seperti pasukan Siliwangi yang melambangkan keberanian, bukan macan sungguhan.


Kisah ini menunjukkan bahwa meskipun pasukan Abrahah memiliki kekuatan yang besar, mereka tetap tidak bisa menandingi kekuasaan Allah. Seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Fil, pasukan ini dihancurkan oleh burung-burung kecil dengan batu yang membawa kehancuran, menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan di dunia yang bisa melawan kehendak Allah, sebesar apa pun mereka terlihat.


Memahami kisah tentara bergajah dari perspektif simbolis membuka wawasan baru tentang pesan yang terkandung di dalamnya. Gajah dalam kisah ini mungkin bukan hewan nyata, melainkan simbol kekuatan besar yang ditantang oleh kehendak Allah. Sama seperti pasukan Siliwangi tidak berarti mereka menaiki macan, "tentara bergajah" pun bisa jadi tidak benar-benar melibatkan gajah.


Inti dari kisah ini adalah pelajaran spiritual bahwa tidak ada kekuatan yang mampu menandingi kehendak Allah. Apa pun bentuk ancaman, baik nyata maupun simbolis, Allah selalu memiliki cara untuk melindungi hamba-Nya dan tempat suci-Nya. Pesan inilah yang seharusnya menjadi fokus utama kita, bukan sekadar detail literal dari kisah tersebut. ISF-28