Jalan di Tempat, Partai Politik di Tengah Semangat Reformasi -->

Header Menu

Jalan di Tempat, Partai Politik di Tengah Semangat Reformasi

Jurnalkitaplus
21/05/25

Dok. Google


JURNALKITAPLUS – Reformasi yang telah bergulir selama 27 tahun menjadi tonggak penting perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Semangat reformasi menjadi ruh yang mendorong lahirnya berbagai institusi negara independen, memperkuat prinsip check and balances, dan membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas. Namun, di tengah arus perubahan itu, ada satu institusi yang dinilai gagal mereformasi dirinya: partai politik (parpol).

Dalam sistem demokrasi, partai politik memegang peran vital sebagai pilar utama perwakilan rakyat. Fungsinya mencakup rekrutmen politik, pendidikan politik warga, penyaluran aspirasi, serta penghubung antara rakyat dan negara. Tanpa partai yang sehat dan demokratis, sistem perwakilan akan pincang, dan demokrasi kehilangan fondasinya.

Namun kenyataannya, menurut para pakar, parpol justru menjadi satu-satunya institusi yang tidak mengalami reformasi berarti sejak 1998. Ramlan Surbakti, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, menilai bahwa partai telah gagal dalam menjalankan tiga fungsi utama. Pertama, keanggotaan partai tidak benar-benar aktif dan hanya formalitas. Kedua, banyak kader tidak memiliki kapasitas dalam menjalankan fungsi legislasi. Ketiga, parpol tidak berhasil menjadi jembatan antara rakyat dan negara, dan justru lebih berperan sebagai penguasa.

Senada dengan itu, Titi Anggraini, pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, menilai parpol kini lebih menyerupai kartel kekuasaan yang dikuasai elite dan pragmatis. Sistem proporsional terbuka yang diberlakukan sejak 2009 memperparah situasi dengan memperkuat politik transaksional. Pemilu menjadi ajang adu modal, bukan pertarungan gagasan.

Titi menegaskan, kegagalan reformasi parpol juga diperparah oleh ketergantungan pada pemodal, lemahnya akuntabilitas, serta tidak adanya mekanisme kontrol etik terhadap calon legislatif. “Parpol adalah satu-satunya institusi yang gagal mereformasi diri di tengah semangat reformasi besar-besaran,” ujarnya.

Untuk mengatasi stagnasi ini, reformasi internal partai menjadi keharusan. Salah satu langkah utama adalah revisi terhadap Undang-Undang Partai Politik, guna mendesain ulang tata kelola partai yang lebih demokratis, transparan, dan inklusif. Sentralisasi kekuasaan di tangan ketua umum perlu dipangkas, dan kaderisasi harus dikuatkan.

Masalah pendanaan juga menjadi perhatian. Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menyarankan agar negara turut memberikan pendanaan bagi partai, namun dengan syarat adanya pengawasan ketat. "Kalau tanpa perbaikan serius terhadap partai politik dan pendanaannya, semuanya akan jadi omong kosong," ujarnya.

Dengan reformasi partai yang menyeluruh—mulai dari struktur internal, pembiayaan, hingga budaya politik—barulah harapan akan demokrasi yang lebih sehat bisa diwujudkan. Sebab tanpa partai yang bersih dan kuat, demokrasi hanya akan jadi panggung sandiwara lima tahunan. (FG12)