JURNALKITAPLUS - Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat pada Jumat, 16 Mei 2025 diwarnai insiden panas. Seluruh anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) secara kompak melakukan aksi walkout sebagai bentuk protes keras terhadap pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang dinilai telah merendahkan martabat lembaga legislatif.
Insiden tersebut terjadi tak lama setelah rapat paripurna dibuka di Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung. Awalnya, suasana rapat berjalan seperti biasa dengan agenda pembahasan sejumlah materi.
Namun, ketegangan mulai terasa ketika anggota Fraksi PDIP, Doni Maradona Hutabarat, mengajukan interupsi. Dengan nada tegas, Doni menyampaikan kekecewaan mendalam fraksinya terkait pernyataan Gubernur Dedi Mulyadi dalam sebuah acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Cirebon pada tanggal 7 Mei 2025 lalu.
Menurut Doni, dalam acara tersebut, Gubernur Dedi Mulyadi melontarkan pernyataan yang mengesankan bahwa proses penganggaran dan pembangunan melalui mekanisme rapat di DPRD memakan waktu lama dan terkesan menghambat. Gubernur disebut-sebut memberikan contoh pembangunan di masa lalu, seperti era kerajaan dan VOC, yang dapat berjalan tanpa persetujuan parlemen, mengindikasikan seolah peran DPRD tidak begitu vital.
"Sembilan hari lalu gubernur di acara yang sakral saya anggap, di acara Musrenbang ada pernyataan gubernur yang menurut saya perlu disikapi. Beliau menyampaikan, saya berpikiran beliau mendiskreditkan lembaga DPRD Jawa Barat dan menurut saya mendiskreditkan masing-masing anggota DPRD," ujar Doni dalam interupsinya.
Doni menegaskan bahwa pernyataan tersebut melukai marwah DPRD sebagai mitra kerja pemerintah provinsi dan wakil rakyat. Ia menekankan pentingnya etika dan saling menghargai antara eksekutif dan legislatif dalam menjalankan roda pemerintahan.
"Kita ini perwakilan rakyat kan dipilih sama rakyat. Tugas kita memperjuangkan aspirasi rakyat," tambahnya, sembari mendesak Gubernur Dedi Mulyadi untuk memberikan klarifikasi atas pernyataannya.
Setelah interupsi tersebut, anggota Fraksi PDIP lainnya, Memo Hermawan, kemudian menyerukan kepada seluruh anggota Fraksi PDIP yang hadir, termasuk Wakil Ketua DPRD Jabar dari Fraksi PDIP, Ono Surono, untuk meninggalkan ruang sidang sebagai bentuk protes.
"Saya meminta Fraksi PDIP untuk out, termasuk Bapak Ono, sebelum selesai hubungan eksekutif-legislatif baik. Terima kasih. Silakan berdiri, tidak perlu ikut rapat paripurna, saya minta tidak ikut rapat paripurna dan walk out," kata Memo lantang, yang kemudian diikuti serempak oleh seluruh anggota Fraksi PDIP meninggalkan ruang rapat.
Menanggapi aksi walkout tersebut, Ketua DPRD Jawa Barat, Buky Wibawa, menyebutnya sebagai dinamika politik yang wajar dalam alam demokrasi. Ia menghormati sikap politik Fraksi PDIP dan mengindikasikan adanya miskomunikasi antara pihak eksekutif dan legislatif.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menanggapi santai insiden walkout tersebut. Ia menyatakan bahwa aksi tersebut merupakan hak setiap fraksi atau individu untuk mengekspresikan pendapat politiknya.
"Itu hak setiap orang, mau walk out, mau tidak," kata Dedi usai menghadiri kegiatan di Gedung Pakuan, Bandung, seraya menambahkan bahwa perbedaan pandangan adalah hal biasa dalam politik.
Kepemimpinan KDM dan Pendekatan Ilmiah
Menurut Radhar Tribaskoro, seorang mantan Sekertaris DPD Gerindra Jawa Barat, dalam tulisannya di jakartasatu.com mengatakan bahwa fenomena ini bisa dijelaskan lewat pendekatan ilmiah. KDM tak bekerja dengan paradigma birokrasi konvensional, melainkan mengusung pola adaptive leadership dan direct action governance —konsep yang menekankan respons cepat, efektivitas, dan keberpihakan pada hasil nyata.
Dalam kacamata teori sistem sosial Niklas Luhmann, gaya KDM merupakan gangguan terhadap sistem politik yang selama ini terjebak dalam formalitas dan logika prosedural. Ia membawa logika moral dan efektivitas langsung ke ruang pengambilan keputusan, yang selama ini lebih dikuasai oleh kepentingan partai dan tafsir sempit atas demokrasi prosedural. Maka tak heran jika DPRD merasa terganggu, sementara masyarakat justru menyambut aksi-aksi tersebut sebagai bentuk kerja nyata yang bisa langsung dirasakan.
Fenomena ini menggambarkan benturan antara dua sumber legitimasi: performance legitimacy versus procedural legitimacy. KDM bekerja cepat, transparan, dan mengeksekusi program tanpa bertele-tele. Ini mirip dengan model kepemimpinan dalam studi New Public Management dan post-bureaucratic governance, yang sering kali menempatkan efektivitas di atas kepatuhan prosedural. Meski mendapat kritik dari sebagian akademisi dan politisi, pemimpin seperti KDM justru lebih dipercaya masyarakat karena dianggap mampu menyelesaikan masalah dengan konkret.
Media sosial menjadi senjata utama KDM dalam membangun kepercayaan publik. Ia menggunakan platform digital bukan sekadar untuk pencitraan, melainkan sebagai ruang deliberatif tempat publik bisa melihat langsung kerja pemerintah, mengawasi, dan memberi umpan balik. Gaya ini sejalan dengan teori networked politics yang menjelaskan bagaimana relasi kekuasaan kini bergeser dari institusi ke jaringan digital yang lebih cair dan langsung.
Dari kebijakan pengiriman pelajar ke pusat pendidikan militer, pembongkaran praktik dana hibah, hingga pemangkasan anggaran komunikasi secara drastis, KDM menunjukkan bahwa pemerintahan yang efektif tidak harus mahal dan birokratis. Meski berisiko, langkah-langkah ini dianggap sebagai upaya restorasi publik dan pembenahan tata kelola. KDM bukan sekadar seorang gubernur, tetapi representasi dari perubahan arah kepemimpinan publik yang lebih responsif, transparan, dan relevan dengan kebutuhan zaman, simpul Radhar dalam tulisannya. (FG12)