Revisi UU Pemilu 2025: Jalan Panjang Menuju Pemilu Nasional dan Lokal yang Terpisah dan Berkualitas -->

Header Menu

Revisi UU Pemilu 2025: Jalan Panjang Menuju Pemilu Nasional dan Lokal yang Terpisah dan Berkualitas

Jurnalkitaplus
20/07/25



Jurnalkitaplus - Pemerintah dan DPR didesak segera memulai pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu 2025 yang bukan sekadar menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal, tetapi juga sebagai momentum penting untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu secara menyeluruh.


Putusan MK pada 26 Juni 2025 mengharuskan pemilu nasional—yang memilih Presiden/Wakil Presiden serta anggota DPR dan DPD—dipisah dari pemilu lokal yang memilih kepala daerah dan anggota DPRD, dengan pergelaran yang berjarak 2 sampai 2,5 tahun mulai periode 2029-2031. Pelaksanaan aturan baru ini memerlukan payung hukum yang kuat, yakni revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Tanpa revisi, aturan teknis untuk menjalankan pemisahan ini akan sulit ditegakkan.


Lebih dari itu, revisi tersebut juga wajib mengakomodasi putusan-putusan MK lain yang menyangkut syarat calon presiden, pembentukan daerah pemilihan, ambang batas parlemen, masa jabatan penyelenggara pemilu, hingga aturan bantuan sosial pada masa kampanye. Tidak sedikit putusan ini berdampak langsung pada sistem pemilu sehingga butuh kajian dan penyesuaian mendalam.


Para ahli seperti Titi Anggraini dari Fakultas Hukum UI menegaskan bahwa revisi UU Pemilu perlu menjadi momen evaluasi menyeluruh dari pengalaman pemilu dan pilkada sebelumnya. Revisi ini bertujuan memperbaiki aspek demokrasi seperti jaminan kesetaraan suara, penyelenggara yang profesional, serta menjamin proses penghitungan suara yang transparan, bebas dari kecurangan dan kekerasan. Jika pembahasan revisi terlambat, dikhawatirkan masyarakat akan lebih banyak mengajukan uji materi ke MK karena merasa tak punya wadah berpartisipasi dalam reformasi hukum pemilu.


Namun, progres pembahasan belum jelas. Ketua DPR Puan Maharani menyatakan revisi masih dibahas di tingkat pimpinan dan belum diputuskan apakah akan dituangkan lewat Badan Legislasi atau Komisi II DPR. Sementara itu, sejumlah pihak seperti Koordinator Komite Pemilih Indonesia menilai penolakan beberapa partai terhadap putusan MK adalah indikator krisis ketatanegaraan yang berpotensi menyeret DPR ke ranah inkonstitusional.


Menariknya, putusan pemisahan pemilu ini juga sedang diuji kembali di MK oleh kelompok pemohon yang menginginkan pemilu lokal tetap berjalan serentak setiap lima tahun untuk menghindari perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan DPRD. Mereka berargumen bahwa jadwal baru berpotensi menabrak prinsip-prinsip konstitusional.


Dengan banyaknya variabel yang harus dipertimbangkan dan potensi dampak lintas aturan, pembahasan revisi UU Pemilu diperkirakan akan memakan waktu lama. Karena itu, segala proses harus dimulai segera agar pemilu nasional dan lokal di masa mendatang bisa berjalan lancar dan benar-benar memperkuat demokrasi Indonesia. (FG12)