Musisi Indonesia Resah, DPR dan Pemerintah Tegaskan Penyelenggara Bertanggung Jawab atas Pembayaran Royalti -->

Header Menu

Musisi Indonesia Resah, DPR dan Pemerintah Tegaskan Penyelenggara Bertanggung Jawab atas Pembayaran Royalti

Jurnalkitaplus
22/06/25



Jurnalkitaplus - Keresahan mendalam tengah melanda para musisi Indonesia terkait masalah royalti lagu yang berujung pada gugatan hukum, seperti yang dialami penyanyi Agnez Mo. Kasus ini memicu ketakutan musisi untuk membawakan lagu dalam pertunjukan karena risiko tersandung masalah hukum royalti.

Dikutip dari harian Kompas (21/06), vokalis Band Kotak, Tantri Syalindri, menyuarakan keresahan ini dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR bersama berbagai pihak, termasuk perwakilan Agnez Mo dan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Jumat (20/6/2025). Tantri menyatakan banyak musisi takut membawakan lagu karena khawatir digugat akibat masalah royalti, dan berharap ada kejelasan aturan yang mengatur mekanisme pembayaran royalti agar tidak merugikan pihak manapun.

Kasus Agnez Mo yang digugat pencipta lagu "Bilang Saja" karena membawakan lagu tanpa izin dalam tiga konser pada 2023 menjadi sorotan utama. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Agnez harus membayar denda Rp 1,5 miliar, namun putusan ini dianggap kontroversial dan diduga tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. DPR menilai putusan tersebut keliru karena penyanyi bukan pihak yang bertanggung jawab langsung atas pembayaran royalti, melainkan penyelenggara acara.

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual menjelaskan bahwa mekanisme pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), dan kewajiban pembayaran ada pada penyelenggara acara. LMK bertugas mengelola dan mendistribusikan royalti kepada pencipta lagu. Hal ini diharapkan dapat mengurangi konflik dan ketidakpastian hukum di industri musik.

Selain itu, sejumlah musisi ternama seperti Ariel NOAH dan kawan-kawan mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas beberapa pasal dalam UU Hak Cipta yang dianggap diskriminatif dan menimbulkan ketidakpastian hukum terkait kewajiban izin dan pembayaran royalti. Mereka menuntut mekanisme yang lebih adil dan transparan agar musisi tidak lagi khawatir menghadapi masalah hukum saat membawakan lagu ciptaan orang lain. (FG12)