![]() |
Gambar : Grid.id |
JURNALKITAPLUS - Indonesia tengah menikmati puncak bonus demografi, periode emas ketika jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) melampaui kelompok usia non-produktif (anak-anak dan lansia). Namun, sebuah ironi mengemuka di tengah limpahan sumber daya manusia ini: angka perkawinan justru menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan, beriringan dengan lonjakan kasus perceraian. Situasi ini, di negara yang masih menjunjung tinggi lembaga perkawinan, memerlukan perhatian serius dari pemerintah untuk mencegah potensi tergerusnya keuntungan demografi dan munculnya persoalan kependudukan di masa depan.
Data berbicara jelas. Dua tahun setelah Indonesia memasuki masa bonus demografi pada 2012, tepatnya pada 2014, tercatat 2,11 juta perkawinan. Namun, sepuluh tahun berselang, dua tahun setelah puncak bonus demografi diperkirakan terjadi pada 2021-2022, jumlah perkawinan anjlok hingga 30 persen menjadi hanya 1,48 juta kasus di tahun 2024. Fenomena penurunan ini bukan tren sesaat, melainkan berlangsung secara konsisten selama satu dekade terakhir tanpa adanya indikasi pembalikan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, penurunan angka perkawinan ini paling signifikan terjadi di kalangan generasi muda, kelompok usia 16-30 tahun. Statistik Pemuda Indonesia 2024 menunjukkan bahwa pada 2015, sebanyak 42,64 persen pemuda sudah menikah. Namun, dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, angka tersebut merosot tajam menjadi hanya 29,10 persen pada 2024. Sebaliknya, jumlah pemuda yang belum menikah melonjak drastis dari 55,79 persen menjadi 69,75 persen.
Berbagai faktor disinyalir menjadi pendorong perubahan perilaku sosial ini. Data statistik mengindikasikan pergeseran usia menikah ke jenjang yang lebih tinggi, seiring dengan pemberlakuan batas usia minimal menikah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Selain itu, meluasnya akses terhadap pendidikan tinggi dan kesempatan kerja memberikan alternatif pilihan hidup di luar pernikahan bagi kaum muda. Berkurangnya tekanan sosial untuk segera menikah juga turut memengaruhi keputusan mereka.
Konsekuensi dari tren penurunan perkawinan ini tidak bisa dianggap remeh. Menurunnya angka pernikahan secara langsung berpotensi mengecilkan angka kelahiran, yang pada gilirannya akan menurunkan Tingkat Kesuburan Total (TFR). Jika tren ini berlanjut, jumlah penduduk usia produktif bisa menyusut lebih cepat dari perkiraan, memperpendek atau bahkan mempercepat berakhirnya masa bonus demografi. Padahal, bonus demografi seharusnya menjadi momentum krusial bagi Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara maju.
Meskipun TFR nasional pada 2024 masih berada di angka 2,11, mendekati angka penggantian penduduk (2,1), kewaspadaan tetap diperlukan. Pasalnya, delapan provinsi kunci seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Utara telah mencatatkan TFR di bawah angka penggantian. Pengalaman negara-negara maju menunjukkan betapa sulitnya membalikkan tren penurunan kesuburan, bahkan upaya mempertahankannya pun memerlukan investasi besar.
Lebih jauh, berkurangnya proporsi penduduk usia produktif akan mempercepat proses penuaan masyarakat (aging population). Meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia akan menambah beban ekonomi negara karena kelompok ini umumnya tidak lagi produktif secara ekonomi. Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia, Sudibyo Alimoesso, menekankan perlunya respons serius pemerintah terhadap tren penurunan perkawinan ini untuk menghindari pemendekan masa bonus demografi dan percepatan pembentukan masyarakat menua.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Thailand, sebagai contoh, telah mengalami transisi menjadi masyarakat menua sejak 2005, dan dalam kurun waktu 18 tahun, jumlah lansianya berlipat ganda. Statistik Lanjut Usia Indonesia 2024 memprediksi Indonesia memasuki era masyarakat menua pada 2021 dan jumlah lansia diperkirakan akan mengganda menjadi 20 persen pada tahun 2045.
Di sisi lain, tantangan ketenagakerjaan di tengah bonus demografi juga menjadi ironi tersendiri. Data Bank Dunia 2023 mencatat angka pengangguran usia muda di Indonesia sebesar 13,9 persen, tertinggi di Asia Tenggara. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2024 melaporkan 4,82 persen pengangguran terbuka, setara dengan 7,2 juta orang. Bahkan, laporan Celios menyebutkan 33,4 persen pengangguran di Indonesia termasuk kategori putus asa mencari kerja. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mencapai sekitar 80.000 kasus selama 2024 semakin memperburuk situasi ini.
Dengan jumlah penduduk usia produktif mencapai 196,13 juta dari total 284,44 juta penduduk (Statistik Indonesia 2025), rasio ketergantungan saat ini adalah 45,02 persen. Secara teoritis, dua penduduk usia produktif menanggung satu penduduk non-produktif. Namun, Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN, Budi Setiyono, mengungkapkan realita yang lebih berat, di mana satu penduduk produktif bisa menanggung 3-4 orang. Kondisi ini jelas menghambat upaya untuk mengoptimalkan potensi bonus demografi.
Kini, peran negara menjadi krusial untuk menahan laju penurunan angka perkawinan. Kehadiran negara tidak hanya dibutuhkan untuk mengesahkan pernikahan secara administratif, tetapi juga untuk menjaga keberlangsungan lembaga pernikahan itu sendiri. Keterlambatan dalam merespons tren ini berpotensi membawa Indonesia pada berbagai persoalan kependudukan di masa depan yang akan berdampak luas pada stabilitas ekonomi dan kesejahteraan sosial. Bonus demografi yang seharusnya menjadi katalisator kemajuan, justru bisa menjadi beban jika tren penurunan perkawinan dan tantangan ketenagakerjaan tidak segera diatasi dengan kebijakan yang tepat dan komprehensif. (FG12)