Jejak Kartini Masih Terbaca di Lorong-Lorong Kekuasaan -->

Header Menu

Jejak Kartini Masih Terbaca di Lorong-Lorong Kekuasaan

Jurnalkitaplus
21/04/25



Setiap 21 April, gaung nama Kartini kembali menggema. Tapi jauh dari seremoni kebaya dan puisi-puisi peringatan, jejak langkah Kartini justru masih tertinggal samar di lorong-lorong kekuasaan. Ia belum sepenuhnya hadir sebagai kekuatan nyata di ruang politik.

Pesta demokrasi 2024 menjadi panggung penentu—dan lagi-lagi, perempuan belum mendapat porsi sepenuhnya. Hasil Pemilu Legislatif dan Pilkada memang menunjukkan kemajuan, tapi keterwakilan perempuan masih tertahan. Dari 580 kursi DPR, baru 127 diisi oleh perempuan (21,9 persen), naik tipis dari Pemilu 2019. Begitu pula dengan Pilkada, hanya dua gubernur perempuan yang terpilih, dengan 49 kepala daerah perempuan lainnya tersebar di berbagai wilayah.

Publik melihat pergerakan ini, namun belum cukup terkesan. Jajak pendapat Kompas mencatat, meski 50,6 persen responden menilai keterwakilan perempuan membaik, 42,5 persen merasa stagnan. Seolah-olah langkah perempuan dalam politik hanya bergerak setengah hati, terjebak di antara niat baik dan kenyataan pahit.

Apa yang menahan langkah para Kartini masa kini? Budaya patriarki menjadi jawaban utama, disebut oleh 29,4 persen responden sebagai penghalang paling dominan. Disusul dengan diskriminasi politik dan anggapan bahwa perempuan kurang kompetitif dibanding laki-laki.

Padahal, kapasitas perempuan tidak perlu lagi dipertanyakan. Mayoritas responden (63,7 persen) percaya perempuan punya kemampuan mumpuni untuk memimpin. Namun, stigma lama masih membayangi langkah mereka—seakan-akan suara perempuan belum sah sepenuhnya di ruang kebijakan.

Kartini masa kini bukan tak ada, mereka hadir di antara dinamika politik. Tapi suara mereka kerap tenggelam dalam dominasi sistem yang belum ramah. Upaya afirmatif seperti kuota 30 persen untuk caleg perempuan belum membuahkan hasil signifikan. Sejauh ini, afirmasi hanya sampai di kertas, belum sampai ke hasil.

Maka, tak cukup hanya memperingati. Kita harus menciptakan iklim politik yang lebih terbuka. Pendidikan politik bagi perempuan, seperti disuarakan oleh 32,6 persen responden, menjadi kebutuhan penting. Partai politik pun harus aktif mencetak kader perempuan, bukan sekadar mencantumkan nama untuk memenuhi syarat administratif.

Jika jejak langkah Kartini masih samar, tugas kita bersama untuk menegaskannya. Perempuan bukan tamu di ruang politik. Mereka pemilik rumah yang sah. Sudah waktunya suara perempuan tak hanya disambut, tapi didengar dan dijadikan dasar pijakan dalam setiap keputusan.

Hari Kartini bukan hanya seremoni. Ini momen menyalakan kembali semangat perjuangan agar langkah-langkah perempuan semakin mantap menuju ruang pengaruh dan pengambilan keputusan. 

Selamat Hari Kartini. Jangan cuma pakai kebaya, pakai juga akal sehat untuk berpolitik adil jender. (FG12)