Di zaman super hebat dan cepat seperti sekarang ini, kekuatan merek global seperti Apple, Starbucks, dan Nike telah melampaui sekadar produk. Mereka bukan hanya menjual barang, tetapi juga gaya hidup, identitas, dan status sosial. Tak heran, banyak konsumen rela mengorbankan pengeluaran lain—bahkan uang makan—demi mendapatkan produk dengan logo eksklusif ini. Fenomena ini bukan sekadar tren konsumtif biasa, melainkan hasil dari strategi branding yang mengakar kuat dalam psikologi konsumen.
Ketika Merek Menjadi Identitas Diri
Daya tarik merek global terletak pada nilai yang mereka tawarkan. Secara fungsional, produk-produk ini memang memiliki kualitas unggulan. Namun, nilai emosional yang melekat padanya jauh lebih dominan. Konsumen merasa memiliki ikatan dengan merek tertentu, seolah-olah produk tersebut mencerminkan kepribadian mereka.
Teori Self-Congruity dari Sirgy (1982) menjelaskan bahwa konsumen cenderung memilih merek yang sesuai dengan citra diri mereka. Misalnya, seseorang yang ingin terlihat inovatif dan modern lebih cenderung memilih Apple dibanding merek lain, meskipun harganya lebih mahal. Ini karena Apple bukan sekadar perangkat teknologi, tetapi juga simbol kreativitas dan status.
Lebih jauh lagi, perusahaan memperkuat personifikasi merek dengan menggandeng publik figur yang merepresentasikan nilai-nilai tertentu. Nike dengan Cristiano Ronaldo atau Starbucks dengan gaya hidup urban kontemporer adalah contoh nyata bagaimana branding bekerja bukan hanya di tingkat produk, tetapi juga psikologis.
"Kemewahan yang Terjangkau" dan Gengsi Kelas Menengah
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak selalu stabil, muncul fenomena Affordable Luxury atau kemewahan yang terjangkau. Kelas menengah yang sebenarnya memiliki daya beli terbatas tetap berusaha membeli produk-produk premium sebagai bentuk eksistensi sosial. Mereka tidak bisa membeli Lamborghini, tetapi mereka bisa membeli iPhone terbaru. Mereka mungkin tidak bisa menyewa vila mewah di Bali, tetapi mereka bisa menikmati secangkir kopi dari Starbucks.
Menurut penelitian Kapferer & Bastien (2012), konsep luxury tidak hanya bergantung pada harga, tetapi juga persepsi eksklusivitas. Dengan strategi harga yang lebih fleksibel—seperti varian produk yang lebih murah atau metode cicilan—merek-merek besar berhasil menargetkan konsumen kelas menengah yang ingin merasakan gengsi tanpa harus benar-benar kaya.
Ketika Ekonomi Lesu, Merek Global Tetap Perkasa
Menariknya, meskipun dunia mengalami perlambatan ekonomi, merek-merek global tetap bertahan dan bahkan semakin kuat. Apple, misalnya, tetap menjadi pilihan utama konsumen teknologi meskipun harga produknya terus meningkat. Laporan menunjukkan bahwa 80 persen konsumen mengenal produk Apple, dan 45 persen di antaranya mempertimbangkan untuk menggunakannya.
Mengapa bisa demikian? Jawabannya terletak pada kekuatan nilai merek itu sendiri. Interbrand, sebuah firma konsultasi merek ternama, menjelaskan bahwa nilai sebuah merek dihitung berdasarkan pendapatan, loyalitas pelanggan, dan kekuatan produk dalam pasar. Brand yang memiliki loyalitas tinggi akan tetap bertahan meskipun ekonomi sedang lesu karena konsumen tidak hanya membeli produk, tetapi juga pengalaman dan simbol status yang melekat padanya.
Merek sebagai "Agama" Baru?
Dewasa ini, kepemilikan barang bermerek tak lagi sekadar kebutuhan, tetapi juga bagian dari ekspresi diri. Dengan strategi pemasaran yang cermat, perusahaan berhasil menjadikan merek sebagai simbol identitas sosial yang sulit ditolak. Konsumen tidak sekadar membeli produk, tetapi juga membeli cerita, pengalaman, dan status yang ditawarkan.
Namun, pertanyaannya adalah: sampai kapan kita akan terus "berkorban" demi logo? Apakah kebahagiaan benar-benar bisa dibeli dengan iPhone terbaru atau secangkir kopi mahal? Ataukah ini hanya ilusi yang diciptakan oleh kapitalisme modern?
Bagaimanapun, satu hal yang pasti: di dunia ini, branding adalah raja, dan konsumen sering kali rela menjadi rakyat setianya. (FG12)
Referensi :
1. Teori Self-Congruity: Sirgy, M. Joseph. (1982). Self-Concept in Consumer Behavior: A Critical Review. Journal of Consumer Research, 9(3), 287-300.
2. Strategi Merek Mewah: Kapferer, J.N., & Bastien, V. (2009). The Luxury Strategy: Break the Rules of Marketing to Build Luxury Brands. London: Kogan Page.
3. Personifikasi Merek melalui Figur Publik: Escalas, J. Edson, & Bettman, R. James. (2003). You Are What They Eat: The Influence of Reference Groups on Consumers' Connections to Brands. Journal of Consumer Psychology, 13(3), 339-348.

