Religius, tapi Korup? Paradoks Moral di Negeri Seribu Masjid -->

Header Menu

Religius, tapi Korup? Paradoks Moral di Negeri Seribu Masjid

Jurnalkitaplus
08/03/25

Ilustrasi 


Indonesia masuk dalam 10 besar negara paling religius di dunia, tetapi untuk urusan korupsi, negeri ini juga masuk dalam kategori separuh terbawah dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) rendah. Lantas, mengapa ajaran agama belum cukup ampuh menahan laju korupsi?


Religius Tapi Korup, Kok Bisa?


Sebuah laporan CEOWORLD (8 April 2024) menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 negara paling religius di dunia. Sebanyak 98,7 persen responden Indonesia mengaku religius. Bahkan, dalam jajak pendapat Pew Research Center (2018), sebanyak 93 persen warga Indonesia menyatakan agama sebagai bagian penting dalam hidup mereka.


Tapi ironisnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2024 hanya berada di angka 37 dari 100, meskipun naik dibanding tahun sebelumnya yang hanya 34 dari 100. Indonesia kini ada di peringkat 99 dari 180 negara, alias masih di separuh bawah negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi.


Yang lebih menarik, negara-negara yang tingkat religiositasnya rendah justru memiliki tingkat korupsi lebih rendah. Denmark, misalnya, hanya 19 persen penduduknya yang mengaku religius, tetapi negara ini punya IPK 90, menjadikannya salah satu negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia.


Antara Otak dan Korupsi


Menurut Taufiq Pasiak, peneliti neurosains sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, religiositas seseorang dipengaruhi oleh tiga fungsi eksekutif otak, yaitu:


1. Pengambilan keputusan berbasis etik

2. Sistem kendali diri

3. Makna hidup


Jika ketiga fungsi ini tidak bekerja selaras, maka seseorang bisa saja terlihat religius tetapi tetap melakukan korupsi. Sering kali, pengambilan keputusan seseorang terpisah dari kendali dirinya, sehingga nilai-nilai agama hanya sebatas teori, bukan pedoman dalam bertindak.


Religiusitas Simbolik vs Substansial


Dari perspektif sosiologi agama, Mahatva Yoga Adi Pradana, dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta seperti dilansir dari harian Kompas menjelaskan bahwa banyak orang memiliki religiositas simbolik—mereka tampil religius dengan pakaian, ritual ibadah di ruang publik, hingga cara bicara yang agamis.


Namun, religiositas ini tidak diiringi dengan religiositas substansial, yaitu nilai-nilai dasar agama seperti kejujuran, keadilan, dan integritas. Inilah yang menyebabkan orang yang tampak religius justru bisa melakukan korupsi tanpa merasa bersalah.


Dalam banyak kasus, agama malah dijadikan tameng untuk kepentingan politik, sosial, atau ekonomi. Ritual dijalankan, tetapi nilai-nilainya diabaikan.


Solusinya?


Jika ingin memutus paradoks ini, religiositas tidak boleh hanya berhenti di simbol. Pendidikan moral dan integritas harus ditanamkan sejak dini, bukan sekadar ajaran agama yang bersifat ritual.


Pada akhirnya, korupsi bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga masalah moral dan cara berpikir. Sebanyak apa pun tempat ibadah berdiri, sebanyak apa pun doa yang dipanjatkan, jika nilai-nilai kejujuran tidak benar-benar ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari, korupsi akan tetap tumbuh subur.


Jadi, mau religius beneran atau sekadar tampil religius?