JURNALKITAPLUS – Kabar kenaikan gaji hakim hingga 280 persen dari Presiden Prabowo Subianto sontak jadi perbincangan hangat. Kebijakan ini disebut-sebut bertujuan untuk meminimalisir praktik korupsi dan suap di kalangan penegak keadilan. Namun, respons beragam muncul, termasuk dari politikus senior yang juga mantan Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya.
Lewat akun Instagram pribadinya, Tantowi Yahya mengunggah pemberitaan mengenai kenaikan gaji hakim ini. Kakak kandung Helmy Yahya itu menyuarakan harapannya agar dengan gaji jumbo ini, tak ada lagi "permainan" di pengadilan dan keadilan bisa ditegakkan seadil-adilnya.
"Mudah-mudahan tidak ada lagi korupsi dan permainan di pengadilan sehingga keadilan bisa ditegakkan dengan seadil-adilnya," tulis Tantowi pada Kamis (12/6/2025).
Gaji Gede, Tapi Kalau 'Rakus' Gimana?
Meski demikian, ada gurat kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan dari sosok 64 tahun ini. Mantan presenter kuis Who Wants To Be A Millionaire ini menyoroti akar masalah korupsi yang menurutnya tak hanya soal kebutuhan, tapi juga kerakusan.
"Saya sebut mudah-mudahan karena Korupsi itu disebabkan oleh dua hal, kebutuhan dan kerakusan. Kalau sekadar kebutuhan, kenaikan gaji sampai 280% itu seharusnya sudah bisa memenuhi kebutuhan," jelas Tantowi.
Tapi, ada tapinya nih. "Tapi kalau memang rakus, mau dikasih gaji berapa saja tetap saja akan nyolong dan garong," imbuhnya, seolah mengingatkan bahwa masalah mentalitas bisa lebih dominan.
Netizen Ikut Nyinyir: Bukan Gaji, Tapi Mental!
Pemikiran Tantowi Yahya ini ternyata diamini oleh banyak warganet. Kolom komentar unggahannya pun banjir opini serupa. Banyak yang sangsi bahwa kenaikan gaji semata bisa memberantas korupsi. Mereka lebih menyoroti faktor mental para hakim.
"Sebenarnya bukan masalah gaji sih pak, tapi masalah mental aja. Memang masih kurang ya gaji sebagai hakim di Indonesia ini?" komentar seorang warganet, seolah menyindir.
"Problemnya di 'mental model' hakim pak, bukan gaji," timpal warganet lainnya, menguatkan argumen bahwa akar masalahnya ada di dalam diri, bukan di dompet.
Jadi, meskipun gaji hakim bakal makin kinclong, PR besar masih menanti. Bukan cuma soal angka, tapi bagaimana mengubah "mental rakus" menjadi mentalitas pelayan keadilan yang sejati. Kira-kira, dengan gaji setinggi langit ini, korupsi di pengadilan bisa benar-benar sirna gak ya? Kita tunggu saja perkembangannya! (FG12)