Keceplosan Ngomong 'Eee' Mulu? Bukan Masalah, Ini Penjelasannya -->

Header Menu

Keceplosan Ngomong 'Eee' Mulu? Bukan Masalah, Ini Penjelasannya

Jurnalkitaplus
04/04/25



TedEd (YouTube)

Banyak dari kita telah mencoba mengendalikan cara bicara. Tidak jarang percakapan kita dihiasi dengan um... eee... kayak... dan sejenisnya.

Teks-teks Yunani dan Latin kuno dulunya memperingatkan agar tidak berbicara dengan ragu-ragu, dan ahli bahasa terkenal Noam Chomsky menganggap ekspresi-ekspresi ini sebagai "kesalahan" yang tidak relevan dengan bahasa.

Lorenzo García-Amaya dalam YouTube "Why do we, like, hesitate when we, um, speak?" pada 18 Februari 2021 lalu menjelaskan bahwa secara historis, komponen-komponen ucapan ini telah digolongkan ke dalam wadah yang lebih luas, yaitu disfluensi atau disfluency (pengisi linguistik yang mengganggu ucapan yang bermanfaat).

Disfluensi dapat terus terjadi kira-kira 2 hingga 3 kali per menit dalam percakapan alami. Dan versi yang berbeda dari mereka dapat ditemukan di hampir setiap bahasa, termasuk bahasa isyarat.

Jadi, apakah um dan uh hanyalah kebiasaan yang tidak bisa kita hentikan? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita bandingkan komponen-komponen ucapan itu dengan kata-kata lain yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ucapan, sebuah kata dapat memiliki lapisan makna tambahan.

Nada suara, hubungan antara pembicara, dan harapan kemana percakapan akan berlanjut dapat memberi informasi penting bahkan pada kata-kata yang tampak seperti pengisi. Di sinilah um dan uh masuk. Atau eee... ehm.. eto.. dan ano... Ahli bahasa menyebut ini jeda terisi, merupakan sejenis fenomena keraguan. Dan interupsi ini sebenarnya cukup bermakna dalam komunikasi lisan.

Fenomena keraguan dapat memberi kita waktu untuk ucapan mengejar pikiran kita, atau untuk mencari kata yang tepat untuk suatu situasi. Dan mereka tidak hanya menguntungkan kita yang sedang bicara — jeda terisi memberi tahu pendengar kita bahwa kata yang ingin diungkapkan sedang otw, dalam perjalanan. Ahli bahasa bahkan menemukan bahwa orang lebih mungkin mengingat sebuah kata jika kata itu muncul setelah keraguan.

Fenomena keraguan bukanlah satu-satunya bagian dari ucapan yang memiliki makna baru selama dialog. Kata dan frasa seperti kayak atau like.. ya atau well.. kan gitu atau you know.. dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembicara yang teliti menggunakan lebih banyak frasa ini untuk memastikan semua orang didengar dan dipahami. Misalnya, memulai kalimat dengan tau ga atau look... dapat menunjukkan sikap dan membantu kita mengukur persetujuan pendengar.

"Maksudnya gini.." atau "I mean.." dapat menandakan bahwa kita akan menguraikan sesuatu dan eee bisa saja dapat melakukan banyak fungsi, seperti membangun hubungan yang longgar antara pikiran, atau memperkenalkan kata atau tindakan orang lain. Penanda-penanda ini memberi orang pandangan waktu nyata ke dalam proses berpikir kita dan membantu pendengar mengikuti, menafsirkan, dan memprediksi apa yang kita coba katakan. 60

Namun, hanya karena fenomena keraguan dan penanda ini adalah bagian alami dari komunikasi, bukan berarti mereka selalu sesuai. Di luar menulis dialog, kata-kata ini tidak memiliki tujuan dalam dunia tulisan formal. Dan dalam beberapa konteks, stigma yang dibawa oleh isyarat sosial dapat saja merugikan pembicara. Semoga kita dilancarkan dalam menyampaikan maupun menangkap pesan dari komunikasi. (ALR-26)