Jurnalkitaplus – Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia versi terbaru yang direncanakan diluncurkan pada Agustus 2025 bertepatan dengan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, kini menghadapi desakan kuat agar tenggat waktu peluncuran ditunda. Berbagai kalangan, mulai dari masyarakat sipil, akademisi, hingga anggota DPR RI, menilai proses yang berjalan terlalu terburu-buru dan berisiko menimbulkan distorsi sejarah.
Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS), yang terdiri dari sejumlah tokoh nasional seperti Laksamana (Purn) Tedjo Edhie Pudjiatno dan akademisi ternama, mengingatkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon agar tidak tergesa-gesa dalam proses penulisan ulang ini. Ketua Dewan Penasihat FKMPS, Tedjo Edhie Pudjiatno, menegaskan bahwa sejarah harus ditulis dengan jujur dan komprehensif, bukan dengan terburu-buru yang dapat memicu perpecahan.
“Sejarah tak boleh ditulis dengan tergesa-gesa. Proses yang terburu-buru sangat berisiko menghasilkan distorsi baru,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (10/7).
Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, turut memberikan masukan agar istilah “penulisan ulang” diganti menjadi “pemutakhiran” sejarah. Menurutnya, istilah “penulisan ulang” bisa menimbulkan kekhawatiran masyarakat terkait penghilangan bagian tertentu dari sejarah, sementara “pemutakhiran” lebih tepat untuk mengakomodasi fakta dan temuan baru.
Tim penulis yang dipimpin sejarawan Susanto Zuhdi telah menyelesaikan sekitar 80 persen dari proyek ini. Dalam beberapa pekan ke depan, mereka akan melakukan uji publik terhadap 11 jilid buku sejarah tersebut. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa tenggat Agustus 2025 adalah target yang fleksibel dan bertujuan mendorong efisiensi kerja tim.
“Ya, itu target supaya kita kerjanya efisien, tapi masih bisa disesuaikan,” kata Fadli usai rapat kerja dengan Komisi X DPR, Rabu (2/7), seperti di kabarkan harian Kompas
Salah satu isu sensitif yang menjadi perhatian adalah upaya penghilangan peristiwa kekerasan massal tahun 1998 dalam revisi sejarah ini. Selain itu, rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto juga menuai kritik karena dianggap menyakiti korban pelanggaran HAM pada masa Orde Baru.
Meski mengkritik proses dan tenggat waktu, FKMPS tetap mendukung proyek ini sebagai langkah monumental untuk menyusun narasi sejarah nasional yang lebih Indonesia sentris dan membangun karakter kebangsaan. Mereka berharap proses penulisan dapat melibatkan berbagai pihak dengan kredibilitas akademik dan komitmen kebangsaan.
Proyek penulisan ulang sejarah ini dialokasikan anggaran sekitar Rp 9 miliar, yang diharapkan dapat menghasilkan narasi sejarah yang lebih akurat dan mencerminkan jati diri bangsa Indonesia.
Penulisan ulang sejarah Indonesia menjadi perhatian serius berbagai kalangan. Agar hasilnya otentik dan dapat diterima luas, penundaan peluncuran dan keterlibatan publik yang lebih luas sangat dianjurkan. Pemerintah juga diharapkan transparan dan terbuka dalam proses pemutakhiran sejarah ini demi menjaga keutuhan dan kejujuran narasi sejarah bangsa. (FG12)