Dokter Zaman Now, Dari Stetoskop ke Target Layanan, Profesi Mulia Jadi Mesin Produksi? -->

Header Menu

Dokter Zaman Now, Dari Stetoskop ke Target Layanan, Profesi Mulia Jadi Mesin Produksi?

Jurnalkitaplus
23/05/25



Obrolan Waroengkopi- Tempat ngopi yang ramai sama obrolan segala topik, kali ini panas karena satu tema: nasib para dokter zaman sekarang.

Bukan cuma pasien yang pusing, dokternya juga. Kenapa? Karena profesi dokter yang dulu disanjung, sekarang pelan-pelan dikerangkeng sistem—jadi kayak buruh pabrik yang pakai jas putih.

Pertama, soal produksi dokter yang kayak mie instan.

Fakultas kedokteran menjamur di mana-mana. Tiap tahun ribuan dokter baru dilahirkan. Tapi, lulusannya ngumpul di kota besar. Sementara puskesmas di pelosok masih suka kosong. Ironisnya, saking banyaknya di kota, daya tawar dokter jadi kayak barang obral.

Kenapa enggak? profesi dokter bagi sebagian orang masih jadi pekerjaan yang mulia. Selain tenaganya masih dibutuhkan, secara finansial juga masih menjanjikan karena memiliki otonomi profesional yang memungkinkan kebebasan menjalankan praktik kedokteran berdasarkan keahlian, etika profesi dan pertimbangan klinis terbaik tanpa intervensi. (Tapi itu dulu..., sekarang???? beda lagi...)

Kedua, rumah sakit zaman now udah mirip kantor marketing.

Target bukan lagi sembuhin pasien, tapi “berapa kunjungan hari ini, Dok?” Dokter dituntut cepat, padat, hemat waktu. Tapi ya itu, resikonya besar: mutu pelayanan bisa anjlok, bahkan bisa kebablasan jadi malapraktik. Ngeri.

Menjamurnya rumah sakit, bukan tanpa konsekuensi. Berlomba ngasih fasilitas dan pelayanan untuk menjaring pasien, di bumbui tekanan manajemen rumah sakit untuk mendahulukan "balik modal" ketimbang urusan kemanusiaan, bikin dokter pusing tujuh keliling.

Ketiga, sistem pembayaran kayak diskon akhir tahun.

Pakai sistem kapitasi sama INA-CBG’s, nilai kerja dokter dikalkulasi per paket. Mau tindakan ringan atau operasi berat, kalau udah masuk “paket”, ya sama aja bayarannya. Banyak dokter akhirnya cuma dapat “jatah hasil bagi” dari rumah sakit. Itu pun fluktuatif, gak jelas dan gak cukup buat tabungan masa depan.

Belum lagi biaya pendidikan kedokteran yang bikin kantong menipis tajam, di tambah ketidakpastian masa depan profesi dengan sistem jatah bagi hasil ini, pasti dong bikin energi untuk bayar cicilan pinjam sana sini belain jadi dokter bertambah runyam.

Keempat, organisasi profesi juga dibonsai.

Dokter dulu punya lembaga yang bisa pasang badan. Sekarang? Banyak yang bilang organ profesi mulai dilemahkan, bahkan ada tekanan politik segala. Banyak dokter muda kerja sistem kontrak, kadang cuma dipanggil pas dibutuhin. BPJS Ketenagakerjaan? Asuransi pensiun? Angan-angan, Bos.

Lama-lama, dokter jadi buruh dengan stetoskop.

Kerja dikejar target, tekanan administratif segunung, dan pendapatan yang enggak sebanding sama risiko kerja. Dari profesi “gold collar” yang dihormati, berubah jadi “target worker” ala industri pabrik.

Kalau sistem terus begini, bukan cuma dokter yang babak belur, tapi pelayanan kesehatan Indonesia juga bisa kolaps. Pasien butuh dokter yang tenang, bukan yang dikejar target. Dokter butuh sistem yang adil, bukan yang cuma hitung-hitungan kuantitas.

Karena yang kita butuhkan itu bukan cuma banyak dokter, tapi dokter yang bisa benar-benar jadi penolong, bukan korban sistem. (FG12)

Ngopi dulu ah, biar tensi gak ikut naik.