Revisi KUHAP: Bikin Penahanan Lebih Jelas atau Makin Gampang Ditahan? -->

Header Menu

Revisi KUHAP: Bikin Penahanan Lebih Jelas atau Makin Gampang Ditahan?

Jurnalkitaplus
18/07/25



JURNALKITAPLUS — Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali jadi sorotan. Salah satu pasal anyar yang dibahas DPR dan pemerintah justru bikin publik khawatir: aturan penahanan makin luas, dan potensi orang ditahan makin gampang.

Dalam draf RKUHAP terbaru, tepatnya di Pasal 93 Ayat (5), penahanan bisa dilakukan kalau tersangka dianggap bikin masalah—misalnya dua kali mangkir dari panggilan, kasih info yang nggak sesuai fakta, sampai menghambat proses pemeriksaan. Padahal, sebelumnya di KUHAP lama (UU No. 8/1981), penahanan hanya boleh dilakukan kalau ada kekhawatiran tersangka bakal kabur, hilangin barang bukti, atau ngulangin kejahatan.

Nah, menurut peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, aturan baru ini justru terlalu longgar dan rawan disalahgunakan. “Kalau orang bisa ditahan cuma karena dinilai menghambat proses atau kasih info yang dianggap nggak sesuai, itu bisa bahaya. Hak untuk diam dan nggak memberatkan diri sendiri itu dilindungi hukum, lho,” ujarnya.

ICJR pun minta supaya poin-poin seperti "menghambat proses" dan "memberi info nggak sesuai fakta" dihapus aja dari daftar alasan penahanan. Soalnya, praktik salah tangkap aja masih sering kejadian. Data Komnas HAM dan Kontras bilang, dari Juli 2024–Juni 2025, ada 44 kasus salah tangkap, 29 di antaranya bahkan disertai penyiksaan. Duh!

Sementara itu, dari sudut pandang KPK, ada hal lain yang bikin kening berkerut: soal penyadapan. Di RKUHAP baru, penyadapan cuma boleh dilakukan di tahap penyidikan dan harus lewat izin pengadilan daerah. Padahal, KPK biasa ngelakuin penyadapan sejak tahap penyelidikan, dan diawasi Dewas. Kalau aturan ini jalan, penyelidikan kasus korupsi bisa mandek dari awal.

Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, bilang kalau aturan ini bisa mengganggu “core business” KPK—yaitu nyari bukti dan ungkap kejahatan korupsi. “Penyadapan itu krusial, terutama untuk dapatin dua alat bukti awal,” tegasnya.

Di sisi lain, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, membela diri. Katanya, aturan baru justru bikin proses penahanan lebih terukur. “Justru KUHAP lama itu yang terlalu subyektif. Orang bisa ditahan hanya karena ada yang khawatir,” katanya. Menurutnya, aturan baru ini jelas: harus ada tindakan nyata dulu, baru bisa ditahan.

Tapi ya, tetap aja, banyak pihak merasa kalau aturan baru ini malah kasih ruang lebih luas untuk penahanan. Intinya, niatnya sih bagus—biar proses hukum lebih rapi dan jelas. Tapi kalau implementasinya nggak hati-hati, bisa-bisa masyarakat makin was-was tiap ketemu aparat.

Sekarang tinggal kita tunggu, bakal dibawa ke mana arah revisi KUHAP ini. Apakah jadi angin segar untuk reformasi hukum, atau malah bikin orang biasa makin gampang masuk tahanan? (FG12)