RUU Perampasan Aset: Mimpi Pemberantasan Korupsi yang Terus Tertunda, Salah Siapa? -->

Header Menu

RUU Perampasan Aset: Mimpi Pemberantasan Korupsi yang Terus Tertunda, Salah Siapa?

Jurnalkitaplus
07/05/25



JURNALKITAPLUS - Wacana Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali mencuat ke permukaan, membawa harapan sekaligus pertanyaan besar. Di tengah dukungan kuat dari Presiden Prabowo Subianto, mengapa RUU yang digadang-gadang menjadi senjata pamungkas melawan korupsi ini masih saja terombang-ambing tanpa kejelasan?

Mengenal Lebih Dekat RUU Perampasan Aset: Tujuan Mulia, Konsep Radikal

RUU Perampasan Aset bukanlah sekadar wacana hukum biasa. Tujuan utamanya sangat jelas dan mendesak: memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana, terutama korupsi. Lebih dari itu, RUU ini diharapkan mampu memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan dengan mencabut akar finansial mereka, mencegah dan memberantas kejahatan terorganisir serta ekonomi, serta meningkatkan efektivitas penegakan hukum.

Konsep kunci yang diusung RUU ini terbilang progresif, bahkan cenderung "radikal" dalam konteks hukum Indonesia. Salah satu poin yang paling mencolok adalah perampasan aset tanpa tuntutan pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture). Mekanisme ini memungkinkan negara untuk menyita aset yang diduga kuat berasal dari hasil kejahatan, meskipun pelakunya telah meninggal, melarikan diri, sakit permanen, atau bahkan diputus lepas dari tuntutan pidana. Asalkan, bukti keterkaitan aset dengan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan.

Selain itu, RUU ini berpotensi memperluas cakupan tindak pidana yang asetnya dapat dirampas, tidak hanya terbatas pada korupsi, namun juga kejahatan lain seperti narkotika, pencucian uang, dan terorisme. Penguatan mekanisme penelusuran aset, prosedur pemblokiran, penyitaan, dan perampasan yang lebih rinci, serta penentuan subjek perampasan aset yang lebih jelas, termasuk pihak ketiga yang menikmati hasil kejahatan, menjadi pilar penting dalam RUU ini.

Status RUU: Antara Prioritas dan Pengabaian

Ironisnya, RUU Perampasan Aset memiliki jejak panjang dalam labirin legislasi Indonesia. Drafnya telah mengalami berbagai revisi dan bahkan sempat dilayangkan pemerintah era Presiden Joko Widodo ke DPR pada Mei 2023. Namun, hingga akhir masa jabatan DPR periode 2019-2024, RUU ini tak kunjung menemui titik terang. Jangankan pengesahan, pembahasan di tingkat parlemen pun nyaris tak terdengar.

Saat ini, RUU Perampasan Aset memang tercatat dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2025-2029. Namun, namanya absen dari daftar Prolegnas Tahunan 2025. Meskipun Presiden Prabowo telah memberikan sinyal dukungan, perbedaan strategi di internal pemerintah justru menimbulkan pertanyaan baru mengenai nasib RUU ini.

Mengapa RUU Perampasan Aset Mandeg? Benang Kusut Kepentingan dan Strategi

Lantas, mengapa RUU sepenting ini masih saja terkatung-katung? Beberapa faktor disinyalir menjadi penyebab utama kemandegan ini:

  • Perbedaan Pendapat di Internal Pemerintah: Seperti yang terungkap, Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra memilih menunggu inisiatif dari DPR, sementara Menkumham Supratman Andi Agtas justru aktif mematangkan kembali draf RUU. Ketidakseragaman langkah ini jelas memperlambat proses pengajuan dan pembahasan.
  • Inisiatif yang Tidak Jelas: Perdebatan mengenai apakah RUU ini murni inisiatif DPR atau pemerintah turut menjadi penghambat. Ketidakjelasan "pemilik" RUU ini bisa menyebabkan kurangnya dorongan kuat dari salah satu pihak untuk memprioritaskannya.
  • Potensi Benturan Kepentingan: RUU Perampasan Aset, dengan konsep perampasan aset tanpa tuntutan pidana, berpotensi menyentuh kepentingan berbagai pihak, termasuk oknum-oknum yang selama ini menikmati hasil kejahatan. Resistensi dari kelompok-kelompok ini bisa menjadi faktor penghambat di balik layar.
  • Prioritas Legislasi Lain: DPR memiliki agenda legislasi yang padat. RUU Perampasan Aset, meskipun penting, mungkin kalah prioritas dibandingkan RUU lain yang dianggap lebih mendesak atau memiliki dukungan politik yang lebih kuat.
  • Kurangnya Tekanan Publik yang Signifikan: Meskipun isu korupsi selalu menjadi perhatian, tekanan publik yang spesifik dan berkelanjutan terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset mungkin belum cukup kuat untuk mendorong para pemangku kebijakan bertindak cepat.
Kini, dengan dukungan verbal dari Presiden Prabowo, harapan akan lahirnya UU Perampasan Aset kembali membuncah. Namun, perbedaan strategi di internal pemerintah menjadi batu sandungan yang nyata. Pertanyaan besar pun muncul: mampukah pemerintah dan DPR bersinergi untuk mengurai benang kusut ini dan mewujudkan mimpi pemberantasan korupsi yang lebih efektif, atau RUU Perampasan Aset akan terus menjadi sekadar wacana di atas kertas? Waktu akan menjawab. (FG12)

Referensi :
Hukumonline
Tempo.co
Detiknews