Jurnalkitaplus — Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gelombang gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI. Hingga kini, tercatat 14 permohonan uji formil dan materiil diajukan oleh berbagai pihak, mulai dari mahasiswa, masyarakat sipil, hingga karyawan swasta.
Sebanyak 11 permohonan telah dijadwalkan untuk disidangkan pada Jumat (9/5), sedangkan tiga lainnya masih menunggu registrasi dalam sistem e-BRPK MK. Gugatan-gugatan itu mayoritas menyoroti proses legislasi yang dianggap tertutup, tergesa-gesa, dan tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik.
Salah satu gugatan datang dari tujuh mahasiswa hukum UI yang mempersoalkan tidak terbukanya draf dan naskah akademik selama pembahasan RUU TNI. Mereka juga menyoroti masuknya RUU TNI ke Prolegnas tanpa melalui mekanisme yang sah, serta pendeknya jarak antara RDP dan pengesahan di Paripurna.
Pasal-pasal kontroversial juga ikut digugat, termasuk Pasal 47 soal perluasan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dan Pasal 7 mengenai tugas tambahan TNI dalam ancaman siber dan perlindungan WNI di luar negeri. Hal ini dinilai membahayakan supremasi sipil dan menimbulkan tumpang tindih dengan lembaga lain seperti BSSN, Kemenlu, dan Polri.
Dalam beberapa petitum, pemohon tak hanya meminta pembatalan UU TNI, tetapi juga meminta MK menjatuhkan sanksi berupa ganti rugi kepada DPR, Presiden, dan Badan Legislasi DPR dengan total miliaran rupiah, serta pemberlakuan dwangsom (uang paksa) bila putusan MK tidak dijalankan.
Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, menilai banjirnya permohonan ini mencerminkan kuatnya penolakan publik terhadap revisi UU TNI, mirip dengan kasus uji formil UU Cipta Kerja. Ia mendesak MK agar konsisten dalam menjaga prinsip partisipasi publik dalam setiap kebijakannya. (FG12)