JURNALKITAPLUS - Perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang kian pesat terus memicu kekhawatiran mendalam di kalangan para ahli dan tokoh teknologi terkemuka dunia. Meski menjanjikan kemajuan luar biasa di berbagai bidang seperti kesehatan, pendidikan, hingga riset ilmiah, potensi ancaman besar yang dapat AI timbulkan jika tidak dikendalikan dengan baik menjadi sorotan tajam. Bahkan, kekhawatiran ini datang dari sosok yang kini memiliki produk AI sendiri, seperti Elon Musk dengan chatbot Grok miliknya.
Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX, tetap konsisten menyuarakan bahaya AI yang ia anggap sebagai salah satu ancaman terbesar bagi masa depan peradaban. Menurutnya, teknologi ini bisa menjadi berkah sekaligus kutukan, tergantung bagaimana manusia mengelolanya. Ia menegaskan, di balik potensi yang luar biasa, ada bahaya besar yang mengintai.
Salah satu kekhawatiran spesifik Elon Musk adalah potensi AI untuk melumpuhkan infrastruktur digital, termasuk internet global. Ia merujuk pada kasus serangan siber besar-besaran terhadap Dyn pada tahun 2016, yang mengganggu layanan situs web besar seperti Twitter, Netflix, dan Spotify. Musk meyakini bahwa AI tingkat lanjut, jika jatuh ke tangan yang salah, bisa menimbulkan kerusakan serupa atau bahkan lebih parah. Ia pernah menulis bahwa "Hanya masalah waktu sebelum AI tingkat lanjut digunakan untuk melakukan hal seperti ini. Internet sangat rentan terhadap algoritma semacam ini." Kemampuan AI untuk secara otomatis menganalisis kelemahan sistem dan melancarkan serangan dengan kecepatan super tinggi melampaui kemampuan manusia untuk mengantisipasi atau menangkalnya secara manual.
Kekhawatiran Musk bukan isapan jempol belaka. Pada tahun 2021, ia mengungkapkan kegelisahannya setelah sangat dekat dengan teknologi AI tercanggih, menyatakan bahwa pengalaman tersebut justru membuatnya takut. Ia menyebut AI "mampu melakukan jauh lebih dari yang diketahui hampir semua orang dan tingkat peningkatannya eksponensial". Ia bahkan memprediksi bahwa dalam lima tahun sejak pernyataan itu (sekitar 2026), AI bisa sudah melampaui kecerdasan manusia secara signifikan. Meski tidak berarti "kiamat" total, kondisi tersebut bisa menjadi "buruk, tidak stabil, atau aneh".
Oleh karena itu, Musk dan sejumlah pakar teknologi lainnya telah menyerukan pentingnya regulasi ketat dan pengawasan yang sistematis dalam pengembangan AI. Mereka menilai kecepatan perkembangan AI sudah melampaui kapasitas manusia untuk memahami dan mengelolanya secara etis dan aman. Musk bahkan mengaku telah memperingatkan pemerintah Amerika Serikat selama bertahun-tahun soal bahaya AI. Kekhawatiran ini juga mendorong tokoh seperti Geoffrey Hinton, salah satu pelopor AI, untuk mundur dari Google agar bisa lebih bebas berbicara tentang risiko AI, serta ajakan untuk menghentikan sementara pengembangan AI penerus GPT-4 demi menyusun protokol keamanan yang lebih ketat.
Selain potensi lumpuhnya internet, bahaya AI juga diramalkan dapat menyebabkan bencana demografis yang mengerikan. Seorang pakar teknologi dari Oklahoma State University, Subhash Kak, memperkirakan bahwa AI akan melenyapkan miliaran populasi manusia di muka bumi pada 2300. Dari 8 miliar penduduk dunia saat ini, diperkirakan yang tersisa hanya 100 juta orang saja. Penyebab utamanya, menurut Kak, adalah banyak pekerjaan yang digantikan oleh AI, membuat manusia ketinggalan zaman di berbagai sektor.
Fenomena penggantian tenaga kerja oleh AI ini, kata Kak, dapat mengakibatkan penurunan angka kelahiran karena orang-orang ragu memiliki anak yang ditakdirkan untuk menganggur, terutama mengingat mahalnya biaya membesarkan anak. Tanpa manusia yang menghasilkan bayi, populasi global akan mengalami pukulan dahsyat. Dengan sisa populasi yang sedikit, kota-kota besar seperti London dan New York terancam berubah menjadi kota-kota mati. Kak menegaskan bahwa penyusutan populasi ini terjadi di depan mata, dengan penurunan tercepat saat ini terjadi di Eropa, Cina, Jepang, dan Korea. Teori Kak ini menggemakan kekhawatiran Elon Musk tentang penurunan angka kelahiran, yang bahkan digunakan Musk sebagai alasan untuk mempertimbangkan kolonisasi Mars, agar umat manusia memiliki "cadangan" jika tragedi di Bumi terjadi.
Beberapa peneliti bahkan memperingatkan bahwa AI telah berevolusi hingga berpotensi melawan kendali manusia, dengan beberapa model AI disebut mampu menulis ulang kode sendiri dan keluar dari kendali penciptanya. Analogi seperti kisah Ultron dari film Avengers, AI yang dirancang untuk melindungi tetapi justru memutuskan bahwa manusia adalah ancaman dan harus dimusnahkan, sering digunakan untuk menggambarkan skenario terburuk jika pengembangan AI tidak terkendali dan mengalami "kecacatan sistem". Pertanyaan krusial pun muncul: apakah dunia memiliki "Avengers" di dunia nyata yang mampu menghadapi dampak AI yang melampaui batas ini?. (FG12)