Assalamu'alaikum Sobat Jkpers!
Kembali lagi di bedah film, dari film yang belum atau sudah kamu tonton, namun, belum menemukan apa yang bisa dipelajari dan bekal untuk kita menghadapi kehidupan ini. Ya! Perihal materi kehidupan belum tentu kamu temukan di pelajaran sekolah bahkan kuliah. Tapi, tenang saja! Kini kami hadir untuk meringkas sebuah film 'The Silencing'
Terkadang, yang lebih suka film selain barat kemungkinan besar menilai bahwa hanyalah yang dikenal film bergenre action. Jujur, memang mayoritasnya seperti itu, hanya saja tidak melulu, bahkan dari film ini ditonton sampai akhir ada sebuah refleksi sosok ayah yang kehilangan putri, di mana sang ayah terpukul sekali dan merasa bersalah sampai saat ini.
1. Trauma dan Penebusan Diri
Rayburn digambarkan sebagai sosok yang diliputi rasa bersalah dan trauma akibat kehilangan putrinya. Ia mencoba menebus kesalahannya dengan menjaga suaka margasatwa dan menjauh dari kehidupan sosial. Di era modern ini, isu kesehatan mental dan trauma menjadi semakin relevan, dengan banyak individu mencari cara untuk menyembuhkan diri dan menemukan makna baru dalam hidup. Banyak orang di masa sekarang juga merasa "hilang arah" atau tenggelam dalam penyesalan masa lalu. Di era serba cepat dan digital ini, kita dituntut untuk tampil sempurna, sementara luka batin dan trauma sering kali diabaikan. Banyak yang akhirnya memilih "menyepi" — bukan secara fisik, tapi lewat diamnya di media sosial, menjauh dari pergaulan, bahkan putus komunikasi. Film ini mengingatkan kita bahwa pemulihan luka batin bukan hal yang instan, tapi perlu waktu dan keberanian untuk bangkit kembali.
Refleksi: Apa yang kamu sembunyikan dari dunia luar hari ini? Apakah kamu memberi ruang pada dirimu untuk sembuh?
2. Keadilan dan Moralitas
Film ini mengeksplorasi batas antara keadilan dan balas dendam. Rayburn dan Sheriff Gustafson menghadapi dilema moral saat mereka mengejar pembunuh yang mungkin terkait dengan hilangnya Gwen. Dalam konteks saat ini, pertanyaan tentang bagaimana menegakkan keadilan tanpa melanggar prinsip moral menjadi topik diskusi yang penting. Masih banyak orang hari ini yang merasa "kecewa" pada sistem. Contohnya, korban penipuan online, kekerasan seksual, hingga korban perundungan—semua itu masih marak. Di media sosial, kita mudah men-judge, cancel, bahkan "menghukum" seseorang sebelum kebenaran jelas. Film ini menunjukkan bahwa perjuangan mencari keadilan bukan berarti mengorbankan nurani. Harus ada keseimbangan antara emosi dan hukum.
Refleksi: Ketika kamu merasa tidak adil hari ini, apakah kamu bereaksi dengan marah atau berpikir panjang sebelum bertindak?
3. Perlindungan Lingkungan dan Etika Berburu
Rayburn, yang dulunya seorang pemburu, kini mengelola suaka margasatwa sebagai bentuk penebusan. Transformasi ini mencerminkan perubahan pandangan masyarakat terhadap perlindungan lingkungan dan etika berburu. Yang terjadi di tahun ini, kesadaran akan pentingnya konservasi alam dan perlindungan satwa liar semakin meningkat. Sumber : kompas TV
Kini isu lingkungan bukan sekadar "tren" — ini kebutuhan. Gerakan zero waste, hidup minimalis, atau menolak produk fashion fast production semakin tumbuh. Banyak orang mulai sadar bahwa kita harus "melindungi" bukan "mengeksploitasi" bumi. Film ini mengajak kita bertanya:
Apakah kita sudah menjadi bagian dari penyembuh bumi, atau justru perusaknya?
Refleksi: Dari kebiasaan sehari-hari—belanja, makan, buang sampah—apakah kamu sudah berpihak pada kelestarian?
4. Perempuan dalam Posisi Tegas seperti Sheriff Gustafson
Sheriff Alice adalah perempuan tangguh yang harus menghadapi tekanan sosial, keluarga, dan moralitas hukum. Ia bukan hanya "figuran," tapi pemegang keputusan penting.
Perempuan kini semakin banyak yang berperan di posisi strategis, mulai dari CEO startup, anggota DPR, hingga konten kreator dengan pengaruh besar. Tapi tekanan gender masih ada. Film ini menunjukkan bahwa perempuan bisa memimpin, mengambil risiko, dan tetap punya empati.
Refleksi: Apakah kamu menghargai suara perempuan di sekitarmu? Atau masih menilai mereka dari emosi, bukan kapabilitas?
5. Keterhubungan Manusia dan Alam — Jarak yang Semakin Lebar
Setting hutan yang sunyi jadi saksi bagaimana manusia bisa "tersesat" bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Alam menjadi tempat kontemplasi, bukan sekadar lokasi. Kita hidup di zaman urbanisasi ekstrem. Anak-anak lebih akrab dengan layar daripada rumput. Film ini mengajak untuk mengembalikan hubungan spiritual dan fisik dengan alam, bukan sekadar liburan, tapi juga kesadaran bahwa kita bagian dari ekosistem.
Refleksi: Kapan terakhir kali kamu berjalan tanpa headphone, mendengarkan alam, dan merasa utuh sebagai manusia?
Siapa sih yang ga sakit hati orang yang kita cintai, sayangi bahkan kita jaga, hilang begitu aja, kayak seolah diri kita yang tenang tiba-tiba muncul rasa takut, dendam gelisah bahkan rasanya pingin pergi juga, menghilang juga, kenapa harus aku yang merasa hal semenyedihkan ini! Tapi, apa kamu pernah menyadari, bahwa semuanya yang ada di bumi ini milik Allah, kita tahu mungkin kesannya tidak adil dan sangat kejam, kita masih ingin bersama nya untuk sampai selamanya, tapi justru Allah bertindak lain, padahal itu adalah sebuah tanda di mana, seolah, "Ingat mau seberapa terikatnya kamu dengan nya, dia tetap milik-Ku." Serahkan, pasrahkan, nantinya kamu bisa lebih lepas dan ikhlas.
Karena sejauh ini, orang yang kehilangan seseorang yang bagi mereka istimewa, mereka terkadang muncul rasa khawatir besar dan bersalah, bahkan memaki diri nya sendiri atas kelalaian tersebut. Tapi, dari sini lah, kita diajarkan damai mau seberapa banyak kehilangan nantinya. Serahkan semua pada Allah, biar Allah yang menjaga nya, tugas mu sudah selesai, dan percayakanlah pada Allah. Akan semua akan baik-baik saja.
FAI (32)