Jurnalkitaplus - Jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia terus meningkat dan diprediksi akan mencapai 1 dari 5 penduduk pada tahun 2045. Kenaikan ini seharusnya bisa menjadi peluang untuk meraih bonus demografi kedua. Namun, lambatnya penanganan dan kegagalan optimalisasi bonus demografi pertama membuat peluang tersebut terancam gagal. Saat ini saja, 21 dari 38 provinsi telah memiliki struktur penduduk tua, dengan 1 dari 8 penduduk Indonesia adalah lansia.
Menurut para ahli, bonus demografi kedua hanya bisa tercapai jika lansia Indonesia sehat, tangguh, dan produktif. Namun, data menunjukkan usia harapan hidup sehat hanya 62,8 tahun dari total harapan hidup 72,39 tahun. Artinya, begitu memasuki usia 63 tahun, mayoritas lansia mulai mengalami gangguan kesehatan dan tidak mandiri. Padahal, penduduk lansia yang sehat dan mandiri berperan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Pakar kependudukan dari UGM, Sukamdi, menyebutkan bahwa kegagalan pada bonus demografi pertama akan berdampak langsung pada kegagalan bonus demografi kedua. Penduduk usia produktif yang tidak bisa menabung karena minimnya lapangan kerja akan menjadi beban negara saat memasuki usia lansia. Ini sudah terlihat sekarang, ketika PHK meningkat dan pencari kerja bertambah tanpa diiringi ketersediaan pekerjaan yang memadai.
Sayangnya, perhatian terhadap isu kependudukan, khususnya lansia, masih sangat minim. Lansia sering dianggap tidak produktif, sehingga kebutuhan mereka kurang mendapat prioritas dalam kebijakan. Bahkan data dasar seperti jumlah lansia di desa, tingkat kekerasan terhadap lansia, hingga diskriminasi belum tersedia secara menyeluruh, menyulitkan pemerintah dalam merumuskan kebijakan berbasis bukti.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Strategi Nasional Kelanjutusiaan melalui Perpres Nomor 88 Tahun 2021. Namun, pelaksanaannya masih lemah di daerah karena keterbatasan kapasitas dan pemahaman yang belum merata. Padahal, pada 2045 jumlah lansia diperkirakan melonjak hingga 65 juta orang, dan kelompok inilah yang akan menjadi wajah Indonesia saat negara genap berusia 100 tahun.
Solusi nyata harus melibatkan pendekatan lintas sektor. Lansia tidak hanya membutuhkan layanan kesehatan, tetapi juga akses ekonomi, perumahan, hingga dukungan sosial. UMKM dan sektor pertanian bisa menjadi ruang pemberdayaan yang cocok, namun butuh integrasi dengan industri besar serta dukungan dari kebijakan yang berorientasi pada kemandirian, bukan ketergantungan.
Selain itu, sistem perawatan lansia juga harus dibenahi. Model homecare, panti jompo, dan komunitas masing-masing punya keterbatasan. Yang paling realistis, yakni komunitas, tetap memerlukan campur tangan pemerintah agar berjalan berkelanjutan. Jika persoalan ini tak segera diselesaikan dengan kebijakan berbasis data dan kepentingan jangka panjang, Indonesia tidak hanya akan kehilangan bonus demografi, tetapi juga menghadapi ancaman bencana demografi di masa depan. (FG12)