Kontroversi Sekolah Rakyat Prabowo : Antara Misi Pemerataan dan Risiko Diskriminasi Baru -->

Header Menu

Kontroversi Sekolah Rakyat Prabowo : Antara Misi Pemerataan dan Risiko Diskriminasi Baru

Jurnalkitaplus
04/06/25


JURNALKITAPLUS - Rencana pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk membangun "Sekolah Rakyat" menuai beragam tanggapan, terutama dari para praktisi dan pengamat pendidikan. Program yang digagas untuk memfasilitasi pendidikan gratis berkualitas bagi anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem ini, disebut pemerintah bertujuan untuk pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan, namun di sisi lain dikhawatirkan dapat menciptakan diskriminasi sosial yang baru.


Program "Sekolah Rakyat" direncanakan akan menyasar anak-anak dari kategori desil 1 dan 2 Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), dengan model pembelajaran berasrama (boarding school). Konsep asrama ini disebut penting untuk sekaligus memastikan kebutuhan nutrisi siswa terpenuhi. Pemerintah berencana mendirikan 53 lokasi "Sekolah Rakyat" di seluruh Indonesia, dimulai pada tahun ajaran 2025-2026. Mayoritas lokasi, sebanyak 41 unit, akan memanfaatkan aset Sentra dan Balai Pendidikan milik Kementerian Sosial (Kemensos), dengan Sentra Pangudi Luhur di Bekasi disebut sebagai salah satu yang paling siap.


Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno, menjelaskan bahwa program ini adalah bagian dari upaya revitalisasi sektor pendidikan nasional, dengan fokus pada pemerataan dan peningkatan kualitas. Sementara itu, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menegaskan bahwa tujuan utama program ini adalah memutus mata rantai kemiskinan.


Namun, rencana ini mendapatkan kritik tajam. "Sekolah Rakyat" dianggap dapat menciptakan sekat sosiologis dan diskriminasi akut antar siswa, memisahkan anak-anak miskin dari komunitas ekonomi lainnya. Dikutip dari katadata.co.id, penilaian kritikis terhadap  program ini berlawanan dengan prinsip universal "education for all" dan berisiko menciptakan stigmatisasi bahwa hanya anak dari keluarga desil 1 dan 2 yang layak mendapatkan akses pendidikan gratis berkualitas yang diintervensi negara dengan anggaran besar.


Penggunaan kembali nama "Sekolah Rakyat" juga menuai protes, mengingat istilah tersebut pernah digunakan pada era kolonial Belanda untuk sekolah khusus pribumi jelata (Volkschool), yang berbeda jauh kualitasnya dengan sekolah untuk kaum bangsawan atau penguasa. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan stigma dan menciptakan dualisme dengan keberadaan Sekolah Dasar (SD) yang sudah ada. Seorang pakar dari FISIP UGM, Dr. Subarsono, menyarankan nama lain seperti "Sekolah Unggulan" untuk menghindari risiko ini.


Melalui laman detik.com, Subarsono juga menilai program ini belum terlalu mendesak, mengingat banyak sekolah konvensional yang masih membutuhkan perhatian serius pemerintah, seperti masalah bangunan rusak dan kesejahteraan guru honorer. Ia berpendapat anggaran besar yang disiapkan untuk "Sekolah Rakyat", diperkirakan mencapai Rp 100 miliar per unit atau sekitar Rp 5,3 triliun untuk 53 sekolah, akan lebih fungsional jika digunakan untuk menstimulasi peningkatan kualitas sekolah negeri dan swasta yang sudah ada dan melayani semua kalangan.


Kritik lain menyebut program ini sebagai program instan dan pragmatis yang hanya mengejar target statistik, bukan solusi sistemik untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi semua siswa tanpa memandang kelas sosial. Selain itu, program ini dianggap mengabaikan peran sekolah negeri dan swasta yang telah lama berkomitmen melayani anak-anak dari keluarga miskin.


Dr. Subarsono juga mempertanyakan kewenangan Kemensos dalam menyelenggarakan pendidikan, menyarankan agar program ini di bawah Kemendikdasmen jika tetap dilaksanakan. Lokasi ideal, menurutnya, adalah di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) agar lebih tepat sasaran. Sebagai alternatif, pemerintah disarankan memperbesar volume subsidi pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi atau menciptakan skema pembiayaan pendidikan murah berkualitas tinggi bagi semua siswa tanpa pengecualian, menekankan bahwa keberpihakan sejati adalah kebijakan tanpa pilih kasih.


Konsep "Sekolah Rakyat" ini masih dalam tahap perumusan dan pembahasan, di tengah harapan pemerintah untuk mencapai pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan, serta misi memutus rantai kemiskinan, namun juga menghadapi kekhawatiran serius akan dampak sosial dan diskriminasi yang mungkin timbul. (FG12)