Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa Soroti Transformasi Revolusioner Pendidikan Menuju Indonesia Emas 2045 melalui Pendekatan Hukum dan Kearifan Lokal -->

Header Menu

Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa Soroti Transformasi Revolusioner Pendidikan Menuju Indonesia Emas 2045 melalui Pendekatan Hukum dan Kearifan Lokal

Jurnalkitaplus
30/06/25


Jurnalkitaplus – Gagasan Pimpinan Ma'had Al Zaytun Syaikh Al Zaytun, A.S. Panji Gumilang tentang "Lompatan Baru - (Novum Gradum)" dalam sistem pendidikan nasional menuju Indonesia Emas 2045 perlu diimbangi dengan kesadaran kolektif tentang urgensi pola pendidikan di Indonesia ini. Pendekatan kurikulum LSTEAM (Law, Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics) menjadi pilar utama atau tulangpunggung dalam sistem pendidikan nasional. Novum Gradum mengedepankan pendekatan yang menempatkan pembenahan pola pikir, penyamaan visi, dan penguatan kompetensi pelaku pendidikan sebagai prioritas utama. 


Sebagai bagian dari upaya membangun kesadaran kolektif tersebut, Al Zaytun menyelenggarakan simposium Pelatihan Pelaku Didik melalui tema besar "Menuju Transformasi Revolusioner Pendidikan Berasrama Demi Terwujudnya Indonesia Modern di Abad XXI dan Usia 100 Tahun Kemerdekaan" yang diselenggarakan dan diikuti oleh seluruh peserta yang terlibat dalam dunia Pendidikan, mulai dari Akademisi, eksponen, pengurus yayasan, pengurus asrama, para dosen & guru, peserta didik kelas 10 dan 11, mahasiswa, wali peserta didik, dan segenap unsur yang terlibat dalam pendidikan seperti unit pangan, keamanan, kesehatan, ekonomi dan kesling. 


Pada Pelatihan Pelaku Didik Minggu, 29 Juni 2025 di Al Zaytun, ketua Panitia pelaksana, M. Soleh Aceng, S.H.,M.H. melalui sambutannya menyampaikan Pelatihan ini sebagai tindak lanjut gagasan transformasi pendidikan Syaikh Al Zaytun yang berbasis LSTEAM telah memasuki pelatihan yang ke-5 yang sudah dilaksanakan semenjak 1 Juni, telah menghadirkan para akademisi dan professor di bidang pendidikan, bertujuan untuk mendapatkan masukan dari para pakar dibidangnya, dengan peserta tak kurang dari 2500 orang.


Pada Minggu, 29 Juni 2025, simposium Pelatihan Pelaku Didik menghadirkan Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Unpas, dan UGJ, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H., yang menyampaikan visi mendalam mengenai "Revolusi Pendidikan" dengan menekankan pentingnya perubahan radikal dan transformatif untuk mencapai pendidikan berkualitas di Indonesia melalui pendekatan Hukum (Law) dan Kearifan lokal.


Dalam paparannya, Prof. Astawa menggarisbawahi dua pendekatan kunci yang harus diintegrasikan dalam upaya revolusi pendidikan, khususnya dalam konteks pendidikan berasrama: Pendekatan Hukum dan Pendekatan Kearifan Lokal.


Peran Hukum sebagai Katalisator Perubahan


Menurut Prof. Astawa, pendekatan hukum melibatkan perubahan sistem, regulasi, dan memastikan akses pendidikan yang adil bagi semua. Mengutip pandangan Roscoe Pound tentang Sociological Jurisprudence, beliau menjelaskan bahwa hukum adalah alat rekayasa sosial yang harus mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Lebih lanjut, dalam konteks Teori Hukum Pembangunan dari Mazhab UNPAD yang digagas oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Sjahran Basah, hukum dipandang sebagai sarana dan pengarah pembangunan.


"Hukum memiliki peran krusial sebagai pengatur sistem pendidikan dan katalisator perubahan," tegas Prof. Astawa. "Ini mencakup kemampuan untuk menerapkan diskresi (vrijbevoegdheid) dalam kebijakan adaptif serta menciptakan peraturan dan kebijakan yang sinergis, yang kemudian dituangkan dalam kurikulum nasional dan lokal". Beliau menambahkan bahwa etika pendidik dan peserta didik juga harus menjadi dasar dalam kurikulum pendidikan.


Kearifan Lokal: Fondasi Nilai dan Relevansi


Selain pendekatan hukum, pendekatan kearifan lokal ditekankan sebagai pilar fundamental. Ini berarti integrasi nilai, budaya, dan metode pembelajaran lokal dalam sistem pendidikan. Kearifan lokal bersumber dari hasil budaya, agama, adat, dan tradisi yang membentuk nilai-nilai hidup dalam masyarakat, yang dikenal sebagai living law.


Prof. Astawa memberikan beberapa contoh implementasi kearifan lokal dalam pendidikan, seperti:

  • Pancasila sebagai kristalisasi nilai luhur bangsa.
  • Filosofi Jawa "Tut Wuri Handayani".
  • Nilai-nilai lokal seperti gotong royong, cerita rakyat, dan adat istiadat.
  • Penggunaan bahasa daerah sebagai sarana pendidikan.

Khususnya, beliau menyoroti nilai-nilai pendidikan dari budaya Sunda yang sangat relevan:

  • Silih Asih (saling mengasihi).
  • Silih Asah (saling mengembangkan).
  • Silih Asuh (saling membimbing).
  • Cager (sehat), Bageur (baik hati), Pinter (pintar), dan Singer (rajin).

Mewujudkan Sistem Pendidikan Inklusif dan Berkelanjutan


Prof. Astawa menegaskan bahwa integrasi antara hukum dan kearifan lokal adalah kunci untuk mencapai transformasi. "Hukum memberikan dasar regulasi dan kebijakan yang kuat, sementara kearifan lokal memperkuat nilai dan relevansi pendidikan," jelasnya.


Pentingnya integrasi ini akan menghasilkan pendidikan yang lebih kontekstual dan berkarakter, sebuah langkah esensial menuju sistem pendidikan nasional yang inklusif dan berkelanjutan. Visi ini diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan realitas pendidikan saat ini (Das Sein), seperti ketimpangan akses dan kualitas, kurikulum yang berubah-ubah dan tidak responsif, minimnya grand design nasional, kualitas pengajar yang rendah, serta fasilitas pendidikan yang minim.


Dengan menjadikan Pancasila sebagai landasan ideal, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, serta UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 sebagai landasan operasional, yang mengedepankan inklusi, pemerataan, tata kelola, serta riset dan inovasi, Indonesia diharapkan mampu mewujudkan cita-cita pendidikan berkualitas di Abad XXI, khususnya menjelang usia 100 tahun kemerdekaan.


Simpulan A.S. Panji Gumilang


Menurut Syaikh Panji Gumilang, dasar penyelenggaraan pelatihan bagi pelaku didik tidak bisa hanya mengandalkan teori atau retorika belaka. Ia menegaskan hal ini melalui pengalamannya yang telah terjun langsung selama lebih dari 26 tahun dalam dunia pendidikan dan pembangunan karakter bangsa. Menurutnya, jika upaya membangun bangsa dilakukan dengan sungguh-sungguh, seharusnya sudah terlihat kelas dan level kemajuannya. Namun realitasnya, kita justru seperti sedang bermain komidi putar—berputar-putar di tempat, tanpa arah yang jelas, dan tak pernah benar-benar sampai ke tujuan.


Ia menggambarkan situasi ini secara kiasan: seperti santri yang bersarung, tapi terus mencari sarung, tanpa ujung dan tanpa pangkal. Artinya, kita terlalu sibuk dalam rutinitas pendidikan tanpa menyentuh esensi transformasi yang sesungguhnya. Dalam pandangannya, pelajaran penting bisa dipetik dari sebuah "per", komponen kecil dalam mesin yang terus berputar, tapi memiliki arah naik. Artinya, meski sistem pendidikan terus bergerak, ia harus mampu mendorong peningkatan, bukan hanya sekadar mempertahankan gerak.


Untuk itu, Syaikh Panji mengusulkan sebuah pendekatan radikal namun strategis yang ia sebut dengan konsep Hadam Bana—“Hancurkan lalu Bangun Kembali.” Ini bukan ajakan untuk meruntuhkan lembaga pendidikan secara fisik, melainkan merombak total pola pikir, sistem, kurikulum, hingga pendekatan pengajaran yang selama ini stagnan dan tidak adaptif terhadap tantangan zaman.


Indonesia, katanya, perlu transformasi revolusioner dalam bidang pendidikan. Bukan sekadar reformasi tambal-sulam, tapi perombakan mendasar yang melibatkan semua unsur: dari guru, peserta didik, birokrasi pendidikan, hingga paradigma masyarakat terhadap proses belajar. Pendidikan tidak boleh hanya menjadi rutinitas administratif, tapi harus menjadi gerakan besar yang membentuk manusia merdeka, cerdas, berdaya saing, dan bermartabat.


Tanpa keberanian untuk menghancurkan sistem yang usang dan membangun tatanan baru yang lebih visioner, Indonesia akan terus tertinggal, terjebak dalam pusaran komidi putar yang tak berujung. Saatnya pendidikan Indonesia bergerak seperti per—berputar, tapi naik. (FG12)