RUU Masyarakat Adat Mendesak Disahkan: Media dan Perempuan Adat Gardan Terdepan Perjuangkan Pengakuan dan Keadilan -->

Header Menu

RUU Masyarakat Adat Mendesak Disahkan: Media dan Perempuan Adat Gardan Terdepan Perjuangkan Pengakuan dan Keadilan

Jurnalkitaplus
12/06/25

Ilustrasi 


Jurnalkitaplus – Media memainkan peran kunci dalam advokasi untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, yang terus menjadi jalan panjang menuju pengakuan, keadilan, dan penghormatan hak-hak mereka di Indonesia. Dalam sebuah diskusi bertajuk "Mendukung Pengesahan RUU Masyarakat Adat: Jalan Panjang Menuju Pengakuan, Keadilan, dan Penghormatan Hak Masyarakat Adat di Tahun 2025" yang diselenggarakan oleh Kaoem Telapak dan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, peran krusial media disoroti sebagai penghubung antara Masyarakat Adat, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.

Media sebagai Suara yang Terpinggirkan

Melalui pemberitaan yang akurat dan berimbang, media memiliki kekuatan untuk meningkatkan kesadaran publik dan mendorong percepatan pengakuan hak-hak Masyarakat Adat. Sapariah Saturi, Managing Editor Mongabay Indonesia, menekankan bahwa loyalitas jurnalisme adalah kepada warga, memantau kekuasaan, dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Ia menyoroti bagaimana Masyarakat Adat selama ini banyak menjadi korban ketika wilayah adat mereka tiba-tiba masuk dalam kawasan hutan atau izin perusahaan dan proyek pemerintah, serta minimnya pengakuan, perlindungan, diskriminasi, dan pelanggaran HAM yang mereka alami.

Liputan media mengenai persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat, seperti konflik lahan dan sumber daya alam, kriminalisasi, serta praktik kearifan lokal dalam menjaga alam, dapat memperkuat informasi, data, dan fakta lapangan bagi pembuat kebijakan.

Urgensi RUU Masyarakat Adat untuk Kepentingan Bersama

Hingga kini, Masyarakat Adat di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam melindungi ruang hidup, sumber penghidupan, dan nilai-nilai budaya mereka. Meskipun konstitusi telah mengakui keberadaan mereka dalam Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945, belum ada regulasi konkret yang memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak mereka. Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB AMAN dalam laman hukumonline.com, menegaskan bahwa praktik di lapangan masih jauh dari jaminan konstitusi, di mana banyak Masyarakat Adat kehilangan wilayah karena masuk dalam konsesi perkebunan dan pertambangan.

RUU Masyarakat Adat sesungguhnya bukanlah hanya untuk kepentingan Masyarakat Adat saja, tetapi untuk kepentingan bersama. Uli Artha, WALHI Nasional, mengungkapkan bahwa terjaganya ekosistem penting seperti hutan dan gambut adalah berkat kerja perlindungan dan pemulihan oleh Masyarakat Adat. “Jika peran dan hak mereka tidak diakui, itu sama saja dengan negara sedang mempercepat eskalasi krisis, baik krisis ekologi, krisis iklim, dan krisis identitas bangsa,” ujarnya.

Sementara itu Anggi Prayoga, Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, menambahkan bahwa tahun 2025 adalah momen yang tepat untuk mengesahkan RUU ini sebagai jalan menuju Indonesia yang berdaulat, bermartabat, dan mandiri, serta sebagai upaya Indonesia berkontribusi mengatasi permasalahan dampak krisis iklim seperti pangan, energi, dan air.

Perempuan Adat: Peran Sentral yang Terpinggirkan

Di akar rumput, perempuan di Masyarakat Adat memiliki peran sentral, salah satunya menjaga keberlangsungan hidup. Namun, peran mereka kerap dipinggirkan oleh budaya patriarki dan negara. Mereka sering mengalami kekerasan saat mempertahankan lahan pertanian yang merupakan sumber daya ekonomi keluarga. Anastasya Manong dari Kaoem Muda dan Kowaki Papua berbagi pengalaman tentang perempuan muda Papua sebagai garda terdepan dalam menjaga alam dan hutan, merawatnya dengan kearifan lokal seperti memanen sagu dan menangkap ikan, karena hutan adalah 'Mama', sumber kehidupan yang harus dijaga.

Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, mencatat dalam harian Kompas (11/03) bahwa hingga 2024, kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap perempuan adat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk stigmatisasi identitas, pencabutan ruang kelola dan akses kehidupan, serta menjadi korban kekerasan dalam konflik sumber daya alam (SDA). Selama lima tahun terakhir, tercatat 80 kasus terkait konflik SDA yang mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan, termasuk pengambilan lahan, kriminalisasi, dan pemiskinan yang terus-menerus. Akibatnya, saat alih fungsi lahan terjadi, perempuan adat mengalami beban ganda : tidak hanya terusir dari wilayah kelolanya, tetapi juga harus berperan lebih untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pangan keluarga, bahkan beralih profesi menjadi buruh, pekerja migran, atau pekerja seks, yang membuat mereka rentan kekerasan berlapis.

RUU MHA sebagai Payung Hukum Perlindungan Perempuan Adat

Melihat peran krusial perempuan adat yang tergerus berbagai bentuk marjinalisasi, Dahlia Madanih menegaskan dibutuhkannya UU Masyarakat Hukum Adat (UUMHA) sebagai payung hukum. Ia khawatir Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang bakal berlaku pada 2026 dan menerapkan konsep hukum yang berlaku di masyarakat (living law) malah berpotensi mengancam perempuan adat karena belum sepenuhnya menggunakan perspektif keadilan untuk mereka.

Veni Siregar, Koordinator Koalisi Kawal RUU MHA, menambahkan bahwa ketiadaan UU MHA menyebabkan Masyarakat Adat tidak mendapatkan penghormatan, pengakuan, dan perlindungan, sehingga peran-peran yang diakui dalam Konstitusi tidak bisa dijalankan. Oleh karena itu, masyarakat sipil mengusulkan agar RUU MHA mengatur soal hak kolektif perempuan adat, yaitu seperangkat hak yang berasal dari pengetahuan perempuan tentang wilayah kelola dalam kawasan adat mereka, serta akses dalam pemanfaatan, pengelolaan, perawatan, pengembangan, pertukaran, dan keberlanjutan antargenerasi atas tanah dan SDA.

Harapan Pengesahan di Tahun 2025

RUU Masyarakat Adat, yang diusulkan sejak 2009, berulang kali masuk Prolegnas namun tak kunjung disahkan. Namun, pada 2024, kembali masuk Prolegnas 2025. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, menyatakan seluruh fraksi partai politik di DPR pada dasarnya sepakat akan urgensi pembahasan RUU MHA dan akan mulai dibahas di Baleg pada masa sidang terdekat yang dimulai akhir Juni 2025.

Doli menjelaskan bahwa dorongan kuat untuk membuat UU MHA ini adalah agar Masyarakat Adat terlindung dari ancaman kelompok bisnis yang melakukan ekspansi dan dapat mengganggu ekosistem serta lingkungan mereka. Meskipun Partai Golkar sempat menolak pembahasan di periode sebelumnya, kini mereka mendukung asalkan substansi dibahas hati-hati dan fokus pada perlindungan Masyarakat Adat dan kelestarian lingkungan, dengan catatan kehati-hatian terkait demokratisasi dan kesetaraan gender di masyarakat adat.

Veni Siregar dari Kaoem Telapak mendesak pengesahan RUU Masyarakat Adat segera dan mengajak media untuk bersama mengawal advokasi ini. “Koalisi juga terus berdialog dengan DPR, DPD RI dan Pemerintah untuk memastikan pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat terakomodir,” katanya. (FG12)