RUU Pemilu Masih Mandeg, Padahal Putusan MK Sudah Matang -->

Header Menu

RUU Pemilu Masih Mandeg, Padahal Putusan MK Sudah Matang

Jurnalkitaplus
30/06/25


Waroengkopi - Pemilu boleh jadi masih beberapa tahun lagi, tapi gejolak di belakang layar sudah mendidih macam kopi tubruk yang kelamaan direbus. Sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengubah peta besar penyelenggaraan pemilu, tapi sayangnya di gedung parlemen, pembahasan RUU Pemilu masih seperti obrolan sore di teras rumah—banyak wacana, minim aksi.


MK sudah memberi aba-aba keras:

  • Pemilu nasional dan lokal mesti digelar terpisah.

  • Ambang batas pencalonan presiden dihapus.

  • Syarat pencalonan di pilkada dirombak.

  • Ambang batas parlemen pun diubah.


Bisa dibilang, sistem pemilu kita sedang diretas ulang oleh MK. Tapi sayang seribu sayang, DPR justru masih saling tunjuk—antara Badan Legislasi (Baleg) dan Komisi II—siapa yang harus jadi juru masaknya. RUU Pemilu yang mestinya segera dikocok dan digodok, justru teronggok kayak naskah skripsi di minggu kedua liburan.


Antara Prolegnas dan Politik Warung


Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, RUU Pemilu sudah masuk list utama dan DPR ditunjuk sebagai inisiator. Bahkan, wacana memakai skema omnibus law juga sudah berhembus, dengan kemungkinan menggabungkan revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik. Tapi tetap saja, tidak ada keputusan jelas. Rapat belum berjalan, apalagi naskah akademik.


Kalau di warung kopi, ini seperti semua orang sudah sepakat mau bikin arisan, tapi malah ribut soal siapa yang jadi bendahara.


Sinyal Politik Masih Macet


Dari laman Kompas, menurut Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Golkar, putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal seharusnya jadi sinyal kuat untuk DPR segera bekerja. Tapi faktanya, keputusan ada di tangan elite politik yang tampaknya masih asyik menyusun strategi atau mungkin, menunggu momen yang tepat.


Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda pembahasan akan dimulai. Suasana sepi-sepi panas. Komisi II dan Baleg masih tarik-ulur siapa yang pegang palu sidang. Urusan mendesain sistem pemilu baru—yang akan menyentuh nasib 270 juta rakyat—malah jadi ajang tarik-tarikan internal.


Analisis : Bahaya Jika Terlambat


Waktu tidak akan menunggu DPR. Tanpa revisi undang-undang, putusan MK bisa membuat pelaksanaan pemilu selanjutnya timpang—aturan lama tak cocok dengan sistem baru. Bayangkan, seperti main bola dengan aturan futsal tapi di lapangan sepak bola.


Jika pembahasan molor terus:

  • Sosialisasi aturan baru bakal mepet.

  • KPU dan Bawaslu bisa bingung soal implementasi teknis.

  • Parpol juga akan kehilangan arah dalam mengatur strategi pencalonan.


Solusi: Jangan Cuma Wacana, Segera Aksi


  1. Percepat konsolidasi internal DPR. Baleg dan Komisi II harus duduk bareng, bukan berebut mikrofon.

  2. Gunakan pendekatan omnibus law dengan kehati-hatian. Jangan asal satukan revisi kalau justru makin bikin ruwet.

  3. Tekanan publik harus digencarkan. Akademisi, media, dan masyarakat sipil perlu terus mendesak agar DPR tidak terlalu santai.


Penutup: Pemilu Jangan Jadi Mainan Elit


Kalau MK sudah kasih lampu hijau, DPR seharusnya jangan malah pasang rem tangan. Sistem demokrasi yang sehat butuh aturan yang jelas dan tepat waktu. Jangan sampai nanti, rakyat hanya jadi penonton dari pertunjukan politik yang hanya menguntungkan segelintir orang.


Karena urusan negara bukan obrolan santai—tapi sayangnya, masih sering diperlakukan seperti di warung kopi.



 “Ngopi Boleh, Tapi Jangan Lupa Tanggung Jawab Negara.”

- FG12