RUU Perampasan Aset: Kunci Tarik Duit Koruptor yang Lama Tertunda, Negara Bisa Raup Triliunan! -->

Header Menu

RUU Perampasan Aset: Kunci Tarik Duit Koruptor yang Lama Tertunda, Negara Bisa Raup Triliunan!

Jurnalkitaplus
18/06/25


Jurnalkitaplus - Indonesia selama ini menghadapi tantangan besar dalam upaya memulihkan aset hasil korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah tiap tahunnya. Salah satu penyebab utama adalah belum disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sudah digagas sejak lebih dari satu dekade lalu. RUU ini sangat krusial karena memberikan instrumen hukum yang memungkinkan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu vonis pidana, sebuah mekanisme yang dikenal dengan istilah non-conviction based asset forfeiture. Tanpa aturan ini, aset koruptor yang kabur, meninggal, atau belum divonis tetap sulit disita sehingga potensi kerugian negara terus berlanjut.


Urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset semakin nyata mengingat banyak kasus korupsi besar yang asetnya belum bisa dikembalikan ke negara. Selain itu, RUU ini juga mengatur perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik agar tidak dirugikan secara tidak adil. Pemerintah pun berencana membentuk badan pengelola aset terpadu yang transparan dan akuntabel untuk memastikan pengelolaan aset hasil sitaan berjalan dengan baik dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan. Dengan adanya aturan yang jelas dan pengawasan ketat, diharapkan proses perampasan aset bisa berjalan efektif dan memberikan manfaat maksimal bagi pembangunan nasional.


Dukungan dari Presiden Prabowo Subianto menjadi angin segar bagi percepatan pengesahan RUU ini. Dalam pidatonya pada Hari Buruh 2025, Presiden secara tegas menyatakan bahwa negara harus bisa mengeksekusi aset koruptor yang selama ini tidak dikembalikan. Pernyataan tersebut memperkuat sinyal bahwa pemerintah serius ingin memperkuat upaya pemberantasan korupsi lewat instrumen hukum yang lebih efektif. Namun, tantangan legislasi masih ada karena DPR harus menyelesaikan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terlebih dahulu sebelum membahas RUU Perampasan Aset secara mendalam.


Masyarakat juga mulai menunjukkan dukungan kuat terhadap RUU ini meskipun pengetahuan publik tentang keberadaannya masih rendah. Survei terbaru menunjukkan hampir 95 persen responden setuju dengan perlunya aturan khusus untuk perampasan aset hasil kejahatan seperti korupsi dan narkoba. Hal ini menandakan bahwa ketika masyarakat memahami manfaat RUU Perampasan Aset, mereka siap mendukung penuh agar kekayaan negara yang dicuri bisa kembali dan digunakan untuk kepentingan rakyat luas. Dukungan publik ini menjadi modal penting bagi pemerintah dan DPR untuk mempercepat proses legislasi.


Dengan pengesahan RUU Perampasan Aset, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembalikan aset negara yang selama ini sulit disita dan mengurangi kerugian finansial akibat korupsi. Instrumen hukum ini akan menjadi senjata ampuh dalam memperkuat pemberantasan korupsi dan memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa lepas begitu saja dari jeratan hukum. Kini, tinggal menunggu sinergi antara pemerintah, DPR, dan masyarakat agar RUU ini segera menjadi kenyataan dan membawa manfaat nyata bagi masa depan bangsa.


Pembahasan Belum Berjalan Mulus


Namun demikian, proses pengesahan RUU Perampasan Aset hingga saat ini masih menghadapi sejumlah tantangan dan belum berjalan mulus. Meskipun Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan dukungan penuh dan mendorong agar RUU ini segera diselesaikan, faktanya RUU Perampasan Aset baru masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah DPR periode 2024–2029, dan belum masuk ke daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2025.


Salah satu alasan utama lambatnya pembahasan adalah DPR masih memprioritaskan penyelesaian revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sebagai landasan hukum penting sebelum membahas RUU Perampasan Aset lebih lanjut. Pimpinan DPR menegaskan, pembahasan RUU Perampasan Aset akan dilakukan setelah RUU KUHAP rampung, karena keduanya saling berkaitan dalam sistem hukum acara pidana.


Di sisi lain, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa setelah masa reses DPR berakhir pada 23 Juni 2025, evaluasi Prolegnas akan dilakukan dan ada harapan besar RUU Perampasan Aset bisa didorong masuk ke prioritas pembahasan tahun ini. Proses ini juga didukung oleh komunikasi lintas partai politik yang sedang berlangsung, memperlihatkan adanya political will dari pemerintah dan sebagian besar fraksi di parlemen.


Meski begitu, publik tetap berharap agar pemerintah dan DPR bisa mempercepat proses pengesahan RUU ini. Survei Kompas menunjukkan 92,5 persen responden ingin RUU Perampasan Aset segera disahkan, dan mayoritas meyakini kehadiran undang-undang ini akan membuat pelaku korupsi lebih takut dan jera. Namun, hingga revisi RKUHAP selesai dan ada kepastian politik di parlemen, pengesahan RUU Perampasan Aset masih harus menunggu giliran. (FG12)