Seni Pilar Pendidikan Holistik: Sinergi Musik, Digital, dan L-STEAM Menuju Indonesia Emas 2045 -->

Header Menu

Seni Pilar Pendidikan Holistik: Sinergi Musik, Digital, dan L-STEAM Menuju Indonesia Emas 2045

Jurnalkitaplus
09/06/25

Foto lognews.co.id


INDRAMAYU – Pendidikan di masa depan tak cukup hanya berbicara angka dan rumus. Di era digital, pendidikan memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh—holistik—yang tak hanya mengasah intelektual, tapi juga membentuk karakter, empati, dan daya cipta. Hal ini ditegaskan Profesor Triyono dalam forum Pelatihan Pelaku Didik yang digelar di Pondok Pesantren Modern Mahad Al-Zaytun Indramayu, Minggu (8/6). Pelatihan Pelaku Didik ini mengusung tema besar : "Menuju Transformasi Revolusioner Pendidikan Berasrama Demi Terwujudnya Indonesia Modern di Abad XXI dan Usia 100 Tahun Kemerdekaan".


"Acara ini bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan sebuah momentum strategis untuk merumuskan ulang arah dan pendekatan pendidikan nasional," ujar Dr. Ali Aminulloh, S.Ag., M.Pd.I., ME, selaku panitia penyelenggara, seperti dikutip dari laman lognews.Co.id


Mengusung tema “Pendidikan Seni Holistik di Era Digital : Strategi Kurikulum untuk Mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045”, Prof. Triyono menekankan pentingnya menjadikan seni, khususnya musik, sebagai bagian dari kurikulum inti, bukan sekadar pelengkap ekstrakurikuler. Ia mencontohkan Jepang, yang sejak 1889 sudah mengimplementasikan musik sebagai bagian integral dari pendidikan dasar hingga menengah. “Saya melihat sendiri anak-anak SD di Jepang sudah bisa bermain biola dalam orkestra,” ungkapnya.


Menurutnya, musik bukan hanya soal estetika. Ia menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan, menumbuhkan disiplin, dan memperkuat karakter anak. “Seni adalah pintu masuk pendidikan karakter yang selama ini kita cari-cari,” tegasnya.


Musik dan Digital: Simfoni Pendidikan Masa Depan


Tak hanya bicara pentingnya seni, Prof. Triyono juga menyoroti peluang besar yang ditawarkan teknologi digital. Namun, ia memberi catatan penting: teknologi harus diarahkan untuk pengembangan jati diri, bukan jadi jebakan adiksi. “Saya membayangkan Al-Zaytun memiliki simfoni orkestra sendiri,” ujarnya penuh semangat. “Ini bukan sekadar musikalitas, tapi simbol persatuan, komunikasi, dan disiplin kolektif. Al-Zaytun bisa menjadi orkestra besar dengan Syaykh sebagai konduktornya.”


Untuk merealisasikan ide tersebut, ia mengusulkan pelatihan singkat selama dua bulan kepada mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta agar dapat menggelar konser perdana orkestra Al-Zaytun. "Yang dibutuhkan bukan waktu lama, tapi tekad besar," tambahnya.


Literasi Digital dan Guru Sebagai Fasilitator Kritis


Tantangan tak hanya datang dari minimnya porsi seni dalam pendidikan, tapi juga dari banjir informasi di era digital. Merujuk pada pemikir media David Buckingham, Prof. Triyono menyebut pentingnya critical digital literacy—kemampuan untuk tidak hanya menggunakan media digital, tetapi juga memahami, memilah, dan menganalisisnya secara kritis.


Ia menilai generasi muda saat ini rentan menjadi "generasi zombie" yang pasif menerima konten dari TikTok atau YouTube tanpa menyaring makna atau dampaknya. Karena itu, ia mengusulkan kerangka literasi digital berbasis empat pilar: representasi, bahasa, produksi, dan audiens.


Peran guru pun harus bertransformasi, dari sekadar penyampai materi menjadi fasilitator perubahan. Ia mengangkat metode teater interaktif seperti Forum Theater, Image Theater, dan Invisible Theater yang mampu menumbuhkan empati, nalar kritis, dan kerja sama sosial di kalangan pelajar.


L-STEAM dan Gagasan Revolusioner Haddam Bana


Menyambung gagasan Prof. Triyono, Syaykh Al-Zaytun, Panji Gumilang menegaskan kembali pentingnya landasan pendidikan yang kuat untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Ia menekankan kurikulum L-STEAM (Law, Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics) sebagai pilar utama. “Law (Hukum) harus jadi tulang punggung pendidikan. Tanpa hukum, tidak ada karakter. Tanpa karakter, tidak ada bangsa,” tegasnya.


Lebih lanjut, Panji memperkenalkan konsep haddam bana—gagasan untuk membongkar total sistem pendidikan lama dan membangunnya kembali dari fondasi baru yang progresif dan relevan dengan zaman. "Kita harus berani meninggalkan cara-cara lama yang tak lagi relevan," tegasnya. "Jika ingin perubahan sejati, lakukan haddam bana. Total."


Ia juga membuka ruang dialog dan partisipasi aktif dari peserta forum untuk menyumbang gagasan. “Pendidikan bukan proyek individu. Ini gerakan kolektif yang harus digarap bersama,” ujarnya.


Menuju Generasi Emas: Kreatif, Berkarakter, dan Berdaya Saing Global


Pelatihan ini menjadi cermin keseriusan Mahad Al-Zaytun dalam merancang pendidikan masa depan yang tak hanya canggih secara teknologi, tapi juga kuat secara budaya dan nilai. Dengan seni sebagai landasan karakter, teknologi sebagai alat, dan hukum sebagai fondasi moral, Indonesia Emas 2045 bukan sekadar angan—tapi bisa menjadi kenyataan.


“Generasi emas tidak lahir dari sistem lama yang usang,” pungkas Prof. Triyono. “Ia lahir dari keberanian untuk berubah, dari pendidikan yang menyentuh otak, hati, dan jiwa.”


Artikel asli di lognews.Co.id dengan judul : Mewujudkan Visi Gemilang: Pendidikan Holistik dan Seni sebagai Fondasi Indonesia Emas 2045 di Al-Zaytun