Antara Data dan Realita, Kemiskinan Turun, tapi Hidup Makin Sulit -->

Header Menu

Antara Data dan Realita, Kemiskinan Turun, tapi Hidup Makin Sulit

Jurnalkitaplus
29/07/25



Jurnalkitaplus - Meski Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kabar menggembirakan soal penurunan angka kemiskinan nasional per Maret 2025, masyarakat justru merasa hidup kian berat. Data menyebutkan jumlah penduduk miskin kini 23,85 juta jiwa atau 8,47 persen dari total populasi. Angka ini menurun dari 25,22 juta jiwa (9,03 persen) pada periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan, kemiskinan ekstrem pun menurun menjadi 0,85 persen. Catatan ini diklaim sebagai yang terendah sejak 1970-an.


Namun, kenyataan di lapangan tak semanis statistik. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), stagnasi pendapatan, meningkatnya biaya hidup, serta makin menyusutnya kelas menengah, membuat banyak orang tetap hidup di bawah tekanan. Penurunan kemiskinan terasa tak sebanding dengan kondisi riil keseharian masyarakat.


Data BPS memang menunjukkan tren penurunan kemiskinan selama dua dekade terakhir, tapi kecepatannya makin lambat. Sementara itu, subsidi dan program perlindungan sosial terus membengkak. Ironisnya, banyak orang yang keluar dari garis kemiskinan justru masih sangat rentan—hidup hanya sedikit di atas garis itu. Guncangan kecil saja bisa membuat mereka jatuh lagi ke jurang kemiskinan.


Yang lebih mencengangkan, jika memakai standar garis kemiskinan global terbaru Bank Dunia, yaitu 3,65 dolar AS per kapita per hari, angka kemiskinan Indonesia bisa melonjak jadi 68 persen. Indonesia bahkan masuk peringkat keempat dunia dalam hal jumlah penduduk miskin, di bawah Afrika Selatan, Namibia, dan Botswana.


Sementara itu, ketimpangan ekonomi juga tak banyak berubah. Rasio gini naik tipis dari 0,363 (2005) ke 0,375 (2025), menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan masih melebar. Target penghapusan kemiskinan ekstrem di tahun 2026 pun diragukan pencapaiannya, mengingat masalah kemiskinan bersifat struktural dan multidimensi.


Solusi jangka pendek dan karitatif yang selama ini diandalkan pemerintah dianggap belum menyentuh akar masalah. Tanpa terobosan besar dalam pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja berkualitas, upaya menghapus kemiskinan akan sulit berhasil. Pertumbuhan ekonomi harus bukan hanya tinggi, tapi juga inklusif dan berkualitas agar bonus demografi tak berubah jadi bencana.


So, apapun itu, data boleh menyajikan angka yang menggembirakan, tapi realitas sosial berbicara lain. Tantangan ke depan tak hanya soal menurunkan angka kemiskinan, tapi memastikan mereka yang keluar dari kemiskinan tidak kembali terperosok lagi. (FG12)