Niat: Titik Awal Amal dan Jerat Hukum – Perspektif Islam dan Hukum Pidana -->

Header Menu

Niat: Titik Awal Amal dan Jerat Hukum – Perspektif Islam dan Hukum Pidana

Jurnalkitaplus
04/07/25



"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, sedangkan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan yang diniatkannya. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita yang ingin dinikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 

Jurnalkitaplus - Dalam Islam, niat menempati posisi sentral sebagai penentu sah atau tidaknya suatu amal. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, "Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan." Artinya, niat bukan sekadar rencana dalam hati, melainkan titik tolak dari sebuah amal, menentukan apakah perbuatan tersebut bernilai ibadah atau tidak. Oleh karena itu, Islam menekankan pentingnya meluruskan niat sebagai bagian dari ketakwaan.


Di sisi lain dalam perspektif hukum pidana, niat atau mens rea (unsur batiniah) menjadi salah satu elemen penting dalam menentukan pertanggungjawaban pidana. Hukum tidak hanya menilai suatu perbuatan dari akibatnya (actus reus), tetapi juga dari kehendak pelaku pada saat melakukan perbuatan tersebut. Seorang pelaku baru dapat dipidana jika terbukti memiliki niat jahat atau maksud tertentu yang melatarbelakangi tindakannya. Misalnya, dalam tindak pidana pembunuhan, perbedaan antara pembunuhan berencana dan pembunuhan biasa terletak pada niat dan perencanaan sebelumnya. Oleh karena itu, baik dalam Islam maupun hukum positif, niat memiliki posisi yang sangat strategis dalam menentukan nilai dan konsekuensi suatu perbuatan.

Arman Rajiman SH., Ketua Reksa Mahardhika Utama, menjelaskan bahwa apabila kita dipercaya untuk mengemban sebuah amanah, melaksanakan perbuatan maka niat menjadi pondasi utama yang bisa menentukan arah, nilai, dan integritas dari tindakan tersebut. Niat yang tulus akan melahirkan perbuatan yang lurus, sedangkan niat yang menyimpang bisa membawa konsekuensi hukum maupun moral, meskipun tampaknya perbuatan itu terlihat benar secara lahiriah.

Menurutnya niat memiliki tingkat dan level masing-masing. Ia memiliki konsekuensi berbeda: 
  • Hajis (lintasan awal yang berkelebat atau pikiran), terbersit, tapi tidak lebih dari itu. "Misalkan seseorang terbersit ingin mencuri cawu (pisang).. pengen cawu, tapi teu boga duit, jadi ga lebih dari itu." Kata Arman. 
  • Khotir (lintasan hati, membayangkan). Gimana ya ambil pisangnya.
  • Haditsun nafsi, sudah mempertimbangkan, apakah mau dilakukan atau tidak tapi masih belum pasti. Arman mencontohkan, "Berangkat moal yeuh.. ambil cau (pisang)." - ketika mengilustrasikan seseorang dengan niat akan mencuri buah pisang.
  • Hamm (hati sudah mulai menguat, sudah condong 50%). 
  • Azam (lintasan hati yang sudah dipastikan, teguh 100% ingin melaksanakan) misalkan kita berazam untuk program ini sekian rupiah. 

"Ketika azamnya sudah kuat", Arman melanjutkan, "Ia sudah berangkat, bahkan sampai bawa parang, eh udah keduluan.. caunya (pisang) sudah dipetik lebih dulu oleh orang lain entah oleh pemiliknya atau pencuri lain, jadi ia tidak jadi mencuri. Lantas apakah itu dosa?"

Apabila sudah ke level azam, maka itu sudah termasuk (dosa) dalam fiqh jinayah. "Kalau masih ada? Bisa aja ia jadi mencuri." ujar Arman menjelaskan paparannya.

Sedangkan dalam hukum pidana, penegak hukum akan mempertimbangkan apakah ia dolus (sengaja) atau culpa (lalai). Ada juga mens rea (keadaan psikis, mental, niat dari pelaku). Jika ia dipastikan memiliki gangguan kejiwaan ketika melakukan tindak pidana, ia tidak dihukum. Namun jika tidak memiliki masalah psikis, ia akan dipidana. 

KUHP Pasal 17 ayat 1 yang akan berlaku pada 2026 menyebut seseorang dapat dipidana jika ia mencoba melakukan suatu tindak pidana, niatnya telah nyata, dan ada permulaan pelaksanaan, tetapi tindak pidana tersebut tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri. (ALR-26)