Rantai Korupsi di BUMN: Dari Gratifikasi hingga Risiko UU BUMN Baru -->

Header Menu

Rantai Korupsi di BUMN: Dari Gratifikasi hingga Risiko UU BUMN Baru

Jurnalkitaplus
21/07/25



Jurnalkitaplus - Praktik korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi sorotan. Tak hanya terjadi lewat kolusi dan pemufakatan jahat, skema korupsi juga dipermulus melalui gratifikasi, kickback, hingga pemberian hadiah kepada pejabat tinggi perusahaan pelat merah. Modus-modus klasik ini masih saja terjadi, meski berbagai regulasi antikorupsi sudah diberlakukan.


Sejumlah pengamat menyebut, pola korupsi di BUMN cenderung berulang dan kian mengakar, terutama dalam pengelolaan dana investasi serta pengadaan barang dan jasa. Bahkan, dengan disahkannya UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU BUMN, ruang pengawasan eksternal seperti oleh BPK dan BPKP dinilai semakin sempit. Hal ini dikhawatirkan memperparah potensi terjadinya korupsi yang tak terungkap.


Contoh konkret bisa dilihat dari kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya, yang menyeret nama-nama besar seperti Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo. Mereka terbukti bersekongkol dengan pihak swasta seperti Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro, dan menyebabkan kerugian negara hingga Rp 16,8 triliun. Imbalan untuk direksi berupa uang miliaran rupiah, saham, tiket perjalanan, hingga fasilitas mewah seperti mobil dan konser eksklusif.


Kasus serupa juga terjadi di PT Garuda Indonesia, di mana mantan Direktur Utama Emirsyah Satar menerima suap dalam bentuk uang euro, dolar AS, dan dolar Singapura dari Soetikno Soedarjo dalam pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600. Negara dirugikan hingga Rp 9,3 triliun.


Modus terkini pun berkembang makin canggih. Menurut Transparency International Indonesia (TII), penggelembungan harga (mark-up) kini lebih banyak dilakukan lewat anak perusahaan, vendor boneka, dan rekayasa transaksi dengan pembeli fiktif. Praktik ini juga ditemukan dalam pengelolaan minyak dan produk kilang oleh Pertamina Subholding dan KKKS antara 2018–2023.


Sayangnya, celah hukum yang muncul dari UU BUMN yang baru justru dinilai memperkecil peluang pengungkapan skandal. Pengawasan dari lembaga negara menjadi terbatas, padahal korupsi besar seperti Jiwasraya dan Asabri—yang masing-masing merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah—terungkap justru karena akses audit yang kuat.


Dalam laporan terbarunya, Celios merekomendasikan pembentukan komite pengawas independen untuk mengawal kinerja BUMN dan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Komite ini diharapkan terdiri dari unsur masyarakat sipil, akademisi, dan profesional independen, serta dilengkapi dengan kewenangan luas dan pelaporan yang transparan.


Jika komitmen terhadap antikorupsi di tubuh BUMN ingin ditegakkan, regulasi pengawasan harus diperkuat, bukan malah dipersempit. Sebab tanpa transparansi dan pengawasan yang efektif, BUMN bisa menjadi ladang basah bagi para pemburu rente. (FG12)