JURNALKITAPLUS — Transplantasi ginjal kini menjadi terapi paling ideal bagi pasien gagal ginjal kronis. Selain lebih efektif secara ekonomi, prosedur ini juga mampu meningkatkan kualitas hidup pasien dibandingkan dengan terapi dialisis atau cuci darah yang selama ini menjadi pilihan utama. Namun, layanan transplantasi ginjal di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari keterbatasan sarana dan prasarana hingga minimnya jumlah donor dan literasi masyarakat.
Ketua Perhimpunan Transplantasi Indonesia (Inats), Dr. Maruhum Bonar Hasiholan Marbun, menyampaikan bahwa saat ini baru terdapat 23 pusat layanan transplantasi ginjal di seluruh Indonesia, dengan hanya 12 yang aktif melakukan prosedur tersebut. “Melakukan transplantasi ginjal sangat kompleks dan membutuhkan tim yang solid serta koordinasi yang baik. Oleh karena itu, lebih baik menunjuk beberapa pusat layanan yang benar-benar mampu melaksanakannya secara sempurna,” ujar Bonar dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Transplantasi ginjal memerlukan keahlian multidisiplin dari berbagai tenaga medis, seperti dokter spesialis ginjal-hipertensi, anestesi, jantung, paru, THT, mata, kebidanan, gigi, kejiwaan, rehabilitasi medik, gizi klinik, hingga radiologi. Selain itu, perawat dan tenaga farmasi juga memegang peranan penting dalam proses ini. Ketersediaan laboratorium dan obat-obatan khusus menjadi faktor krusial yang masih perlu diperkuat, terutama di daerah-daerah.
Proses transplantasi ginjal terdiri dari tiga tahap utama: persiapan, operasi, dan pascaoperasi. Penanganan tidak hanya fokus pada penerima ginjal, tetapi juga pendonor, yang harus menjalani kontrol kesehatan secara rutin untuk memastikan kondisi tetap prima setelah prosedur.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan bahwa sekitar 3,8 persen masyarakat Indonesia mengalami gagal ginjal kronis, meningkat signifikan dari 2,0 persen pada 2013. Sementara itu, data BPJS Kesehatan mencatat lebih dari 134.000 pasien menjalani hemodialisis pada 2024 dengan total anggaran mencapai lebih dari Rp 11 triliun. Biaya cuci darah per pasien bisa mencapai Rp 420 juta per tahun, sedangkan biaya transplantasi ginjal berkisar antara Rp 300 juta hingga Rp 350 juta sekali jalan. Dengan demikian, transplantasi ginjal tidak hanya lebih efektif dari sisi kesehatan, tetapi juga lebih efisien secara ekonomi.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menegaskan komitmen pemerintah untuk memperluas layanan transplantasi ginjal dengan memperkuat jejaring rumah sakit pengampu penyakit katastropik. “Transplantasi ginjal adalah solusi sosial yang efektif dengan cost-benefit yang jelas. Jika gagal ginjal tidak ditangani dengan baik, pembiayaan kesehatan akan terus meningkat,” ujarnya.
Meski begitu, tantangan besar masih menanti, mulai dari peningkatan jumlah donor, peningkatan literasi masyarakat tentang pentingnya transplantasi, hingga penguatan fasilitas dan tenaga medis. Kolaborasi antara pemerintah, rumah sakit, dan masyarakat menjadi kunci utama untuk membuka akses layanan transplantasi ginjal yang lebih luas dan berkualitas di Indonesia.
Dengan dukungan yang tepat, transplantasi ginjal dapat menjadi harapan baru bagi ribuan pasien gagal ginjal kronis di Tanah Air, memberikan mereka kesempatan hidup lebih sehat dan produktif. (FG12)