JURNALKITAPLUS - Sejumlah pemerintah daerah di Indonesia berlomba-lomba menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menyusul kebijakan efisiensi anggaran pusat dan implementasi Undang-Undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD). Kenaikan tarif ini memicu pro dan kontra, dengan spekulasi bahwa langkah ini merupakan dampak dari pemangkasan anggaran transfer ke daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 atau kegagalan UU HKPD dalam mendorong kemandirian fiskal daerah.
Berdasarkan laporan Bisnis.com, anggaran TKD pada RAPBN 2026 direncanakan sebesar Rp650 triliun, turun 24,7% dari proyeksi 2025 sebesar Rp864,1 triliun, menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir. Presiden Prabowo Subianto menegaskan efisiensi anggaran ini bertujuan mengurangi ketergantungan daerah pada TKD, mendorong pemerataan kesejahteraan melalui instrumen lain. Namun, di sisi lain, UU HKPD yang dirancang untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah justru dinilai belum efektif, karena banyak daerah masih bergantung pada TKD. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, dari 510 kabupaten/kota, 232 di antaranya memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) di bawah 10% dari total pendapatan daerah, seperti Kabupaten Mamberamo Tengah yang PAD-nya hanya Rp1,39 miliar dari total Rp938,26 miliar.
Kenaikan PBB, terutama PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), menjadi solusi instan bagi daerah dengan kapasitas fiskal terbatas, terutama yang tidak memiliki sumber daya tambang, industri, atau wisata. Namun, kenaikan tarif hingga ribuan persen, seperti di Pati yang mencapai 250%, memicu protes masyarakat. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membantah kenaikan PBB-P2 terkait efisiensi anggaran, melainkan sebagai konsekuensi UU HKPD yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyesuaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setiap tiga tahun sesuai harga pasar, dengan mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Sejak 2019, 20 daerah dilaporkan menaikkan tarif PBB-P2, dengan kenaikan bervariasi 5-10% hingga di atas 100%. Dua daerah, Pati dan Jepara, membatalkan kenaikan setelah protes publik, sementara 15 daerah telah menerapkan kenaikan sejak 2022-2024, dan tiga daerah baru merencanakan kenaikan pada 2025. Tito menegaskan bahwa kenaikan ini merupakan inisiatif daerah, bukan dampak langsung efisiensi anggaran pusat sebagaimana diatur dalam Inpres No. 1/2025.
Polemik kenaikan tarif PBB mencerminkan dilema antara kebutuhan fiskal daerah dan beban masyarakat. UU HKPD seharusnya mendorong inovasi daerah untuk meningkatkan PAD, bukan hanya mengandalkan kenaikan pajak yang memberatkan. Ketergantungan tinggi pada TKD, terutama di daerah luar Jawa, menunjukkan tantangan struktural dalam mencapai kemandirian fiskal. Efisiensi anggaran pusat memang diperlukan, tetapi tanpa strategi yang matang, kebijakan ini berisiko memperlebar ketimpangan antara daerah maju dan tertinggal.
Di sisi lain, penyesuaian NJOP yang menjadi dasar kenaikan PBB-P2 perlu melibatkan partisipasi publik secara transparan untuk menghindari resistensi sosial. Protes di Pati, yang diikuti sekitar 100 ribu warga, menjadi bukti bahwa kebijakan pajak harus mempertimbangkan daya beli masyarakat. Pemerintah pusat dan daerah perlu bersinergi mencari solusi inovatif, seperti pengembangan sektor ekonomi lokal atau optimalisasi aset daerah, untuk mengurangi ketergantungan pada pajak dan TKD. Tanpa langkah ini, kenaikan PBB hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang berpotensi memicu kegaduhan sosial. (FG12)

.jpeg)