Berita Jurnalkitaplus – Serangan 117 drone Ukraina yang menghancurkan 11 pesawat bomber dan satu pesawat angkut Rusia pada 1 Juni 2025 mengejutkan dunia. Peristiwa ini menegaskan posisi drone sebagai "senjata orang lemah" yang kini jadi penentu dalam konflik modern. Dalam kurang dari satu dekade, drone telah berevolusi dari alat pengintai menjadi senjata serbaguna yang mampu melumpuhkan target strategis.
Militer AS telah menggunakan drone sejak awal 2000-an di berbagai konflik, seperti di Afghanistan dan Suriah. Di Ukraina, drone rakitan berjuluk "nirawak karton" terbukti efektif untuk pengintaian, bahkan mampu menembak jatuh helikopter Rusia pada 2024. Di tangan aktor non-negara, drone komersial murah, seperti yang digunakan Hamas pada 2023 untuk menyerang menara penjaga Israel, menunjukkan fleksibilitasnya. Drone Shahed buatan Iran juga kerap menghantam Ukraina.
Salah satu contoh adalah Escadrone Pegasus buatan Ukraina, yang hanya seharga 340 dolar AS (sekitar Rp 5,5 juta), namun mampu menghancurkan tank Rusia T90 M senilai Rp 76 miliar. Dengan produksi 1.000 unit per bulan, drone ini jadi ancaman nyata di medan perang. Namun, keberhasilan drone juga memicu tantangan baru dalam sistem pertahanan global.
Tantangan Sistem Anti-Drone
Kebangkitan drone merevolusi strategi militer, tetapi juga menyulitkan sistem pertahanan. Drone bisa digunakan untuk spionase, serangan kamikaze, sabotase, hingga perang elektronik seperti jamming. Serangan swarm (kawan-kawan) drone, seperti yang dilakukan Iran terhadap Iron Dome Israel, memperumit situasi. Sistem anti-drone harus melindungi infrastruktur kritis, seperti instalasi militer dan bandara, sambil tetap aman bagi masyarakat sipil.
Thales, perusahaan asal Perancis, mengembangkan sistem anti-drone berbasis kecerdasan buatan (AI) yang mendeteksi, mengklasifikasi, dan menetralkan ancaman dengan cepat. Direktur Sistem Nirawak Thales, Thierry Bon, menekankan pentingnya reaksi cepat di lingkungan kompleks, didukung konsolidasi data AI, kata Kepala Departemen Inovasi Thales, Philippe Chopin.
Di Indonesia, PT PAL memamerkan senjata bahu berbasis laser di Indo Defence 2025, yang mampu merusak sensor drone komersial hingga jarak 400 meter. PT Pindad juga mengembangkan SPS-1, senjata anti-drone dengan metode soft kill (menonaktifkan kendali pada jarak 500 meter) dan hard kill (menghancurkan pada jarak 150 meter), serta Maung MV3 Mobile Jammer dengan radius 3 kilometer. Kedua senjata ini telah digunakan untuk pengamanan HUT Ke-79 RI di IKN pada 2024.
**Evolusi Pertahanan Anti-Drone**
Pada awal 2000-an, sistem anti-drone berfokus pada deteksi menggunakan radar dan pelacakan visual. Namun, teknologi ini kesulitan membedakan drone dari burung. Sejak 2020, integrasi AI dan machine learning meningkatkan akurasi deteksi dan pengambilan keputusan otomatis, meski masih menuai kontroversi. Menurut Yussi Perdana Saputra, dosen Telkom University, sistem anti-drone kini berkembang ke teknologi seperti electromagnetic pulse untuk mengatasi drone berbasis kabel optik.
Namun, pertahanan anti-drone bukan hanya soal senjata. Sistem yang komprehensif membutuhkan deteksi dini, netralisasi, dan pencegahan yang didukung kerangka hukum, manajemen, dan kerja sama internasional. Dengan ancaman drone yang terus berkembang, dunia harus beradaptasi untuk menciptakan pertahanan yang tangguh dan efektif. (FG)