Jurnalkitaplus - Akhir-akhir ini, berbagai kasus kesehatan mental yang melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) mengemuka ke publik, menimbulkan perhatian serius tentang seberapa jauh negara memprioritaskan kesehatan mental ASN dan dampaknya terhadap produktivitas layanan publik. Tekanan kerja yang besar dan fenomena “sindrom John Wayne”—kecenderungan ASN dianggap harus selalu tangguh tanpa menunjukkan kelemahan—menjadi faktor utama yang memperburuk kondisi kesehatan mental mereka.
Sindrom John Wayne adalah fenomena psikologis yang sering dialami oleh aparat, termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) dan aparat kepolisian, yang "dituntut" untuk selalu tampil kuat, ulet, dan tangguh menghadapi segala situasi tanpa menunjukkan kelemahan emosional. Istilah ini berasal dari tokoh koboi legendaris Amerika Serikat, John Wayne, yang dikenal sebagai sosok yang gagah berani dan tahan banting.
Dalam konteks sindrom ini, orang yang mengalaminya cenderung menekan atau menyembunyikan masalah emosional dan stres akibat tuntutan pekerjaan atau tekanan situasi berat, seperti saat menghadapi demonstrasi yang rusuh. Kondisi ini menyebabkan akumulasi tekanan mental (overload) yang pada akhirnya bisa membuat mereka menjadi agresif atau berperilaku beringas di luar kendali normal, terutama saat dipicu oleh stres atau rangsangan eksternal.
Fenomena ini dianggap berbahaya karena aparat yang mengalami sindrom ini mungkin akan sulit mengendalikan emosi dan reaksi, serta kurang mampu mengelola tekanan kerja secara sehat. Oleh sebab itu, penting adanya dukungan psikologis dan layanan konseling bagi mereka untuk menjaga kesehatan mental dan kesiapan kerja.
Kesehatan mental ASN bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan aspek penting yang menentukan efektivitas kerja, dengan gangguan seperti stres kronis, kecemasan, dan depresi yang dapat menurunkan konsentrasi, meningkatkan kelelahan, dan melemahkan kemampuan bekerja dalam tim atau berkomunikasi. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menegaskan hak ASN atas pembinaan fisik dan mental untuk mendukung profesionalisme dan produktivitas. Namun, hingga kini pengaturan terkait kesehatan mental ASN masih terbatas dan cenderung bersifat reaktif, belum menyentuh tindakan preventif seperti asesmen dan konseling rutin.
Di tingkat global, Australia menjadi contoh tata kelola kesehatan mental pegawai publik dengan regulasi yang kuat dan layanan Employee Assistance Program (EAP) berupa konseling rahasia dan gratis. Sementara di Indonesia, ketersediaan tenaga kesehatan mental masih minim dengan rasio psikiater hanya 0,3 per 100.000 penduduk, jauh di bawah standar WHO yang merekomendasikan satu psikiater per 100.000 penduduk untuk negara berpenghasilan menengah.
Data Riset Kesehatan Dasar 2020 mengungkapkan 3,9 persen ASN, TNI, Polri, dan pegawai BUMN mengalami gangguan mental-emosional, meski prevalensi ini lebih rendah dibanding rata-rata nasional sebesar 6,1 persen. Tantangan utama terletak pada rendahnya akses layanan kesehatan mental dan minimnya intervensi di tempat kerja, yang berkontribusi pada stres kerja akibat tuntutan pekerjaan, peralatan yang tidak memadai, dan beban kerja berlebihan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 memang memasukkan kesehatan mental secara implisit dalam agenda pembangunan SDM dan perlindungan sosial, tetapi tidak secara khusus menyoroti ASN dengan indikator atau program yang konkret seperti skrining kesehatan mental atau konseling wajib.
Situasi ini menuntut penguatan regulasi khusus, peningkatan anggaran, dan kampanye pengurangan stigma agar kesehatan mental ASN menjadi prioritas nyata. Penanganan preventif dan dukungan psikologis yang memadai penting untuk menjaga kualitas layanan publik yang profesional dan produktif. (FG12)