Jurnalkitaplus - Program Sekolah Rakyat (SR) sebagai upaya pemerintah menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas untuk keluarga miskin di berbagai wilayah Indonesia kini menghadapi ujian berat. Sebanyak 160 calon guru mengundurkan diri, sebagian besar diakibatkan penempatan kerja yang tidak sesuai dengan domisili mereka. Kejadian ini mengingatkan persoalan yang juga terjadi pada pengunduran diri calon dosen PNS dengan alasan serupa.
Meski jumlah pengunduran diri guru tersebut masih sekitar 10 persen dari total kebutuhan awal yaitu 1.469 guru tahap pertama, termasuk kepala sekolah dan staf pengajar, masalah ini menandakan lebih dari sekadar persoalan kuantitas guru. Pemerintah menganggap suplai guru masih mencukupi karena ada 50 ribu calon guru siap mengisi kekosongan. Namun, pendekatan pengelolaan guru yang hanya mengandalkan hukum ekonomi supply and demand dinilai terlalu sempit dan kurang sensitif terhadap faktor-faktor sosial dan psikologis tenaga pendidik.
Ada beberapa alasan mengapa pengelolaan guru Sekolah Rakyat harus lebih komprehensif:
Pertama : Pendidikan tak semata-mata transfer ilmu, tapi juga pengembangan potensi spiritual, sosial, kognitif, dan psychomotorik peserta didik, sehingga guru yang ditempatkan harus memahami konteks lingkungan dan budaya setempat.
Kedua : Keterkaitan antara ilmu dan geografi memberi tekanan pada pentingnya guru mengenal muatan lokal yang meliputi budaya, teknologi, dan lingkungan sekitar agar pembelajaran berjalan efektif dan relevan.
Ketiga : Motivasi dan kondisi sosial calon guru sangat memengaruhi keberlangsungan kerja mereka. Pengeluaran biaya hidup, jarak dengan keluarga, dan kesejahteraan menjadi faktor utama yang sulit diabaikan, terutama bagi guru yang ditempatkan di daerah terpencil dengan fasilitas terbatas dan rendahnya pendapatan.
Keempat : Generasi Guru Sekolah Rakyat sekarang adalah kaum milenial dan Gen Z yang memiliki orientasi berbeda terhadap pekerjaan, penghasilan, teknologi, dan nilai-nilai kehidupan. Pendekatan manajemen berbasis perintah tanpa ruang dialog dan adaptasi membuat banyak dari mereka merasa tidak cocok dengan kondisi penempatan.
Sejarah mencatat istilah "Sekolah Rakyat" sudah lama dikenal sejak masa Hindia Belanda sebagai bagian dari politik kolonial. Kini, Schoholar Rakyat hadir dengan konsep asrama dan pendidikan gratis untuk rakyat miskin, tersebar di 100 lokasi dari Jawa sampai Papua, namun realitas di lapangan menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih manusiawi dan adaptif.
Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan pengelolaan sumber daya guru. Selain ketersediaan kuantitas, perhatian lebih harus diberikan pada kesejahteraan, pemahaman karakter guru, dukungan sosial, dan penyesuaian penempatan yang memperhatikan latar belakang dan kesiapan tenaga pendidik agar tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa secara merata dapat tercapai. (FG12)