Nasionalisme Sejati dalam Bingkai Islam: Mengikat Persatuan, Membendung Perpecahan -->

Header Menu

Nasionalisme Sejati dalam Bingkai Islam: Mengikat Persatuan, Membendung Perpecahan

Jurnalkitaplus
07/08/25



Jurnalkitaplus – Semangat nasionalisme, khususnya dalam momentum peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, hendaknya dimaknai dengan memperteguh jiwa kebangsaan. Nasionalisme diartikan sebagai kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa. Sikap ini bersifat alamiah dan tidak dilarang dalam agama Islam selama tidak bertentangan dengan ajarannya. Bahkan, Al-Qur'an telah menggariskan pentingnya nasionalisme dalam konteks kebangsaan.


Nasionalisme dalam Al-Qur'an: Tiga Ayat Penting


Para ulama tafsir telah mengaitkan beberapa ayat Al-Qur'an dengan konsep nasionalisme dan cinta tanah air:


QS Al-Qashash ayat 85: Ayat ini berbunyi, "Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.”. Menurut Dosen IAIN Kudus, Supriyono, ayat ini adalah salah satu dalil nasionalisme. Kata "ma'ad" (tempat kembali) ditafsirkan beragam, namun Imam Fakhr Al-Din Al-Razi cenderung menafsirkannya sebagai Makkah. Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi dalam tafsirnya, Ruhul Bayan, mengatakan bahwa ayat ini mengisyaratkan “Cinta tanah air sebagian dari iman” (Hubb al-Wathan min al-Iman). Beliau juga mengutip perkataan sahabat Umar ra, “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah air lah, dibangunlah negeri-negeri”.


QS An-Nisa ayat 66: Ayat ini menyebutkan, “Dan sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka...". Syekh Wahbah Al-Zuhaily dalam tafsirnya, al-Munir fil Aqidah wal Syari’ah wal Manhaj, menjelaskan bahwa ayat ini mengisyaratkan ketergantungan manusia terhadap nasionalisme dan tanah airnya. Allah SWT menyandingkan tindakan bunuh diri dengan keluar dari kampung halaman, menunjukkan betapa beratnya berpisah dari tanah air. Kedua hal ini, menurut Syekh Wahbah, memiliki bobot yang sama dan kebanyakan orang tidak akan membiarkan sejengkal pun tanah negaranya manakala dihadapkan pada penderitaan atau ancaman.


QS At-Taubah ayat 122: Ayat ini menyatakan, “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”. Ahli tafsir kontemporer, Syekh Muhammad Mahmud Al-Hijazi, dalam Tafsir al-Wadlih, menjelaskan bahwa ayat ini mengisyaratkan kewajiban menuntut ilmu agama tanpa mengurangi kewajiban jihad dan mempertahankan tanah air. Beliau menegaskan bahwa mempertahankan tanah air adalah kewajiban yang suci, yang membutuhkan pejuang dengan senjata dan juga dengan argumen. Memperkokoh moralitas jiwa, menanamkan nasionalisme, dan semangat berkorban adalah pondasi bangunan umat dan pilar kemerdekaan.


Cinta Tanah Air Adalah Sunnah Nabi


Ungkapan “Hubb al-Wathan min al-Iman” (cinta tanah air sebagian dari iman) yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, belakangan ini menjadi populer di kalangan umat Islam Indonesia. Kiai Muhammad Musthofa Aqiel menjelaskan bahwa ungkapan ini bersumber dari sunnah Nabi Muhammad SAW.


Beliau merujuk pada dua hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Ahmad:


Hadis tentang Makkah: Ketika akan meninggalkan Makkah, Nabi bersabda, “Demi Allah, engkau (Makkah) adalah sebaik-baik tanah milik Allah dan yang paling dicintai oleh Allah, Kalau saja aku tidak dikeluarkan (diusir) darimu aku tidak akan pergi.”.


Hadis tentang Madinah: Saat tiba di Madinah, Nabi berdoa, “Ya Allah berilah rasa cinta kepada kami untuk Madinah sama seperti rasa cinta kami terhadap Makkah bahkan lebih, berilah kesehatan untuk penduduknya, barokah pada setiap Sha’ dan mudnya (ukuran/takaran makanan) dan pindahlah penyakitnya ke daerah Juhfah.”.


Kedua hadis ini menunjukkan tingginya rasa nasionalisme Nabi Muhammad SAW terhadap tanah kelahiran dan tempat tinggalnya. Ini menegaskan bahwa rasa nasionalisme terhadap tanah air termasuk sunnah Nabi. Bahkan, Kiai Musthofa menegaskan bahwa Nabi tidak memberontak saat disakiti di Makkah, tetapi melawan ketika Madinah diserang, membuktikan upaya beliau mempertahankan tanah air.


Nasionalisme, Kemerdekaan, dan Tanggung Jawab dalam Islam


Ketua Umum Pengurus Besar Al Jam'iyatul Washliyah, KH Dr Masyhuril Khamis, menyampaikan bahwa kemerdekaan atau "hurriyah" adalah nikmat dari Allah SWT, yang berarti kebebasan jiwa, rohani, dan fisik dari rasa takut atau pemaksaan. Kemerdekaan ini menjadi syarat ketenangan dalam beribadah, sehingga wajib disyukuri.


Nasionalisme juga dimaknai sebagai sikap pembelaan pada negeri yang sudah Allah titipkan untuk dikelola dan ditata dengan penuh rasa tanggung jawab. Nabi Ibrahim AS, dalam QS Al-Baqarah ayat 126, mengajarkan untuk mendoakan kemakmuran dan keamanan negeri, menunjukkan pentingnya menyayangi bumi tempat kita berada. Makna tersirat dari QS At-Taubah 122 dan QS Ali Imran 200 juga menunjukkan bahwa sikap membela dan mengawal negara serta memakmurkannya merupakan hal yang penting, misalnya dengan meningkatkan kualitas masyarakat.


Nasionalisme adalah patriotisme untuk menaikkan martabat suatu negeri dan penduduknya agar tidak berada dalam penjajahan, keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.


Waspada Ekstremisme: Nasionalisme Inklusif adalah Kunci


Meskipun nasionalisme adalah pilar identitas bangsa dan wujud cinta tanah air, perjalanan nasionalisme tidak selalu mulus. Terkadang, semangat ini dapat bergeser menjadi chauvinisme, yaitu pandangan sempit yang menganggap hanya kelompok tertentu yang berhak atas tanah air, sementara kelompok lain dianggap ancaman. Sikap ini menjadi benih ekstremisme nasionalis, yang merujuk pada pemikiran atau tindakan radikal yang berusaha menghancurkan tatanan sosial dengan kekerasan.


Sejarah mencatat tragedi ekstremisme nasionalis, seperti ideologi Nazi di bawah Adolf Hitler, yang memanfaatkan kebanggaan bangsa untuk rasisme, xenofobia, dan genosida. Di Indonesia, semangat kebangsaan yang dipupuk berlebihan dengan cara keliru juga dapat memicu ketegangan dan kekerasan, mengubah cinta tanah air menjadi kebencian terhadap mereka yang dianggap "berbeda".


Ekstremisme nasionalis membahayakan stabilitas sosial dan memengaruhi rasionalitas, karena keputusan diambil berdasarkan emosi dan kebencian, mengabaikan akal sehat dan prinsip moral. Kelompok radikal sering memanfaatkan simbol nasionalisme untuk memecah masyarakat, mengklaim diri sebagai "pejuang bangsa" dan melabeli penentang sebagai "pengkhianat". Hal ini menciptakan polarisasi sosial yang dalam dan merusak makna sejati nasionalisme.


Penting juga untuk diingat bahwa agama tidak boleh dipelintir untuk membenarkan ekstremisme nasionalis. Islam, misalnya, dalam QS. Al-Hujurat: 13, mengajarkan bahwa perbedaan adalah untuk saling mengenal dan memahami, bukan alasan untuk bermusuhan. Oleh karena itu, baik nasionalisme maupun agama harus dimaknai sebagai sarana untuk mempererat persaudaraan, bukan alat untuk menebar kebencian.


Untuk mencegah nasionalisme jatuh ke dalam ekstremisme, pendidikan memiliki peran krusial dalam menanamkan nilai keberagaman, toleransi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Keberagaman adalah fondasi yang memperkuat bangsa, bukan ancaman. Patriotisme sejati harus didasarkan pada inklusivitas, penghargaan terhadap perbedaan, dan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, agar nasionalisme menjadi fondasi masyarakat yang adil, makmur, dan damai. (FG12)


Sumber : NU Online, Alif.id, Republika online, Harakatuna