Jurnalkitaplus – Wafatnya Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) XIII, pada Minggu (2/11/2025) menjadi penanda berakhirnya satu babak panjang kepemimpinan keraton. Jenazah beliau rencananya akan dimakamkan secara adat pada Rabu (5/11/2025) di Astana Imogiri, Yogyakarta, tempat peristirahatan terakhir raja-raja Mataram.
Peristiwa duka ini sontak membawa ingatan publik pada sejarah panjang Surakarta dan rival abadinya, Yogyakarta—dua keraton yang lahir dari dinasti Mataram Islam yang sama, namun memiliki nasib politik yang berbeda drastis di era kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Penjaga Budaya dan Agama: Peran Sentral Keraton
Sebagai penerus Mataram Islam, peran utama kedua keraton (Surakarta dan Yogyakarta) adalah sebagai pusat akulturasi Islam dan budaya Jawa. Kedua lembaga ini melestarikan tradisi keagamaan yang dibalut budaya lokal, yang dikenal sebagai Islam Kejawen.
Ritual seperti Sekatenan (peringatan Maulid Nabi) dan Grebeg (sedekah hasil bumi) yang diselenggarakan Keraton merupakan praktik dakwah Islam yang menaungi nilai-nilai spiritualitas Jawa.
Dua Raja, Dua Maklumat: Kisah Pilu Daerah Istimewa Surakarta (DIS)
Kisah hidup Raja PB XIII memang sebagai pemimpin adat, namun sejarah pendahulunya, PB XII, bersentuhan langsung dengan pusaran politik Kemerdekaan RI.
Dukungan ini menjadikan Surakarta dan Yogyakarta diakui sebagai Daerah Istimewa (DIS) oleh Presiden Soekarno. Namun, status Surakarta hanya bertahan sekitar 10 bulan, sebelum akhirnya dibekukan pada 1946.
Mengapa Surakarta Kehilangan Keistimewaan?
Berbeda dengan Sri Sultan HB IX yang sigap mengonsolidasikan kekuasaan, Keraton Surakarta gagal menghadapi revolusi sosial yang masif. Pemerintah RI terpaksa membekukan status DIS Surakarta melalui Peraturan Presiden No. 16/SD Tahun 1946 karena:
Geger Surakarta: Terjadinya kekacauan politik dan sosial yang hebat (dikenal sebagai Revolusi Sosial) yang dipimpin oleh Gerakan Anti-Swapraja. Kelompok radikal ini menentang sistem feodalisme keraton dan menuntut perubahan total.
Kekerasan dan Pembunuhan Pejabat: Serangkaian aksi penculikan dan pembunuhan menimpa para Pepatih Dalem (Perdana Menteri Keraton) dan pejabat keraton lainnya, yang melumpuhkan administrasi kerajaan.
Ancaman Stabilitas Nasional: Puncaknya adalah penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir di Surakarta oleh kaum oposisi. Kejadian ini membuktikan bahwa Surakarta sudah tidak aman dan tidak dapat dikendalikan, sehingga mengancam eksistensi Republik yang kala itu berpusat di Yogyakarta.
Akibatnya, Surakarta diubah statusnya menjadi Karesidenan dan dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Tengah, mengakhiri mimpi menjadi Daerah Istimewa. Sementara itu, Yogyakarta, berkat keputusan tegas Sultan HB IX yang mendukung total RI, berhasil mempertahankan dan memperkuat status keistimewaannya hingga kini.

