Jurnalkitaplus - Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI dan terpidana kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP), resmi menghirup udara bebas secara bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, pada 16 Agustus 2025, sehari sebelum peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI. Pembebasan ini menutup babak panjang kasus hukum yang penuh drama, dari insiden "tiang listrik" hingga fasilitas mewah di penjara, namun justru memicu kritik keras karena dinilai mencerminkan kegagalan sistem penegakan hukum dalam menciptakan efek jera bagi koruptor.
Perjalanan Penuh Drama Setya Novanto
Kasus Novanto dimulai dengan sorotan pada 2015 lewat skandal "Papa Minta Saham," di mana ia diduga meminta 20 persen saham PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tak lama, ia terseret dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun. Proses hukumnya diwarnai drama: Novanto pernah menghilang saat penyidik KPK hendak menjemputnya pada November 2017, lalu mengalami kecelakaan yang mencurigakan setelah mobilnya menabrak tiang listrik di Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Saat dirawat di RS Medika Permata Hijau, kuasa hukumnya, Fredrich Yunadi, mengklaim Novanto luka parah dengan memar "sebesar bakpao," yang kemudian viral. Namun, dugaan pemalsuan sakit muncul. Dokter Bimanesh Sutarjo dan Fredrich akhirnya jadi tersangka karena diduga membantu Novanto menghindari penyidikan. Novanto juga sempat menang praperadilan pada September 2017, membuat status tersangkanya gugur, tapi KPK kembali menetapkannya sebagai tersangka dua bulan kemudian.
Pada April 2018, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Novanto 15 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan wajib membayar uang pengganti USD7,3 juta (dikurangi Rp5 miliar yang sudah disetor). Hak politiknya juga dicabut selama lima tahun pasca-hukuman. Namun, vonis ini "dipangkas" melalui peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung pada September 2021, menjadi 12 tahun 6 bulan, ditambah serangkaian remisi sejak 2023, termasuk potongan satu bulan saat Idul Fitri 2023, tiga bulan pada 17 Agustus 2023, dan estimasi potongan hingga enam bulan pada 2024 dan 2025. Total remisi mencapai sekitar 28 bulan 15 hari, memungkinkan Novanto bebas bersyarat lebih cepat.
Fasilitas Mewah dan Pembebasan yang Dipertanyakan
Kontroversi tak berhenti di proses hukum. Pada September 2018, Ombudsman RI menemukan sel Novanto di Lapas Sukamiskin dilengkapi fasilitas mewah, seperti kloset duduk dan dinding berlapis plywood, yang tidak dimiliki narapidana lain. Ini memicu kecaman karena menunjukkan perlakuan istimewa bagi koruptor kakap. Bahkan, pada 2019, Novanto kedapatan "pelesiran" ke toko bangunan saat izin berobat, membuat dua petugas Lapas Sukamiskin dihukum disiplin.
Pembebasan bersyarat Novanto, resmi berlaku sejak 16 Agustus 2025 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan No. PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025, menuai kritik keras. Kepala Kanwil Ditjen Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali, menyatakan Novanto memenuhi syarat administratif dan substantif, termasuk berkelakuan baik dan aktif dalam program seperti klinik hukum di Lapas Sukamiskin. Namun, ia masih wajib lapor bulanan hingga 29 April 2029, dan baru akan bebas murni setelah itu.
Kritik Publik dan Efek Jera yang Gagal
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi UGM, Zaenur Rohman, menyebut masa hukuman Novanto yang pendek melemahkan efek jera. “Pidana badannya rendah, perampasan aset hasil kejahatannya juga rendah. Apa yang bisa diharapkan dari penegakan hukum seperti ini?” katanya, Senin (18/8/2025). Ia menegaskan bahwa kewenangan remisi dan pembebasan bersyarat seharusnya ada di tangan hakim, bukan kementerian, untuk menjaga integritas hukuman.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menambahkan bahwa kasus Novanto, yang diwarnai upaya perintangan penyidikan, menunjukkan betapa mudahnya koruptor lolos dari tanggung jawab. “Ini preseden buruk. Publik melihat upaya pemberantasan korupsi semakin lemah,” ujarnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengingatkan bahwa kasus e-KTP adalah kejahatan serius dengan dampak besar, tidak hanya kerugian negara Rp2,3 triliun, tapi juga degradasi kualitas pelayanan publik.
Refleksi Sistem Hukum yang Rapuh
Kasus Novanto menjadi cermin buram sistem penegakan hukum di Indonesia. Dari drama penghindaran, fasilitas mewah, hingga pemotongan hukuman, publik semakin skeptis terhadap komitmen pemberantasan korupsi. Janji Presiden Prabowo Subianto untuk menindak tegas koruptor kini dipertanyakan, terutama ketika koruptor besar seperti Novanto bisa bebas lebih cepat dengan berbagai "diskon" hukuman. (FG12)