Jurnalkitaplus – Ditengah sedang menjamurnya industri kafe dan restoran, sehingga banyak anak anak dari generasi Z yang memilih sebagian kerja di kafe, karena suasananya. Ujian baru datang menguji kesadaran dan kesabaran para pengelola kafe dan restoran. Fenomena kafe dan restoran yang mendadak memilih untuk tidak lagi memutar musik menjadi sorotan publik dalam beberapa pekan terakhir. Hal ini dipicu oleh kewajiban membayar royalti atas pemutaran lagu di tempat usaha, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta dan Surat Keputusan Menteri Hukum. Kondisi ini menciptakan dilema antara keberlangsungan usaha dan hak para pencipta lagu, dengan pemerintah yang dinilai belum memberikan sosialisasi yang memadai.
Beban Pengusaha dan Solusi Alternatif
Bagi pelaku usaha seperti kafe dan restoran, kewajiban membayar royalti berarti menambah beban pengeluaran operasional. Menaikkan harga barang atau jasa dianggap sebagai pilihan sulit karena berpotensi membuat konsumen kabur. Kecemasan ini memuncak setelah pengelola restoran Mie Gacoan di Bali dijadikan tersangka karena memutar lagu tanpa membayar royalti. Akibatnya, banyak tempat usaha kini memilih untuk membiarkan tempatnya hening atau mencari siasat lain.
Beberapa kafe berupaya mencari solusi, seperti:
Mengganti musik dengan suara alam atau kicauan burung. Namun, kurator musik Dimas Ario Adrianto menjelaskan bahwa rekaman suara alam pun bisa tetap disebut sebagai fonogram dan wajib mendapatkan royalti jika ada musisi, produser, dan label yang merekam serta merilis audionya.
Memilih memutar musik karya musisi luar negeri, jika kebijakan royalti hanya berlaku untuk musik Indonesia. Namun, aturan royalti ini berlaku untuk lagu Indonesia maupun luar negeri.
Berlangganan layanan musik digital, yang ternyata tidak secara otomatis memberi hak untuk pemutaran di tempat komersial. Ini menjadi persoalan tersendiri, mungkin sosialisasi yang kurang jelas, atau perjanjian kontrak berlangganan yang tak sepenuhnya dipahami konsumen, sehingga masih banyak para pengguna layanan musik baru memahami bahwa langganan layanan musik digital hanya untuk penggunaan pribadi, bukan komersial.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menegaskan bahwa persepsi yang berbeda ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi pemerintah. Pengelola kafe masih juga sering mengatakan bahwa sosialisasi pemerintah dinilai minim dan bahkan sering pula mempertanyakan distribusi uang royalti apakah benar-benar sampai kepada musisi.
Aturan Royalti dan Mekanisme Penarikan
Pembayaran royalti musik diatur melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan regulasi turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Dalam PP tersebut, ada 14 bentuk layanan publik yang bersifat komersial yang wajib membayar royalti, termasuk restoran, kafe, pub, bar, hotel, toko, dan pusat rekreasi.
Penarikan dan pengelolaan royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Sistem tarif yang digunakan adalah sistem blanket, yang menetapkan tarif tetap untuk memutar seluruh katalog musik yang dilindungi tanpa batas lagu atau frekuensi pemutaran, berlaku selama satu tahun dan bisa diperbarui. Artinya, pembayaran tarif bukan per lagu atau seberapa banyak lagu diputar.
Untuk kafe dan restoran, tarif diatur berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI HKI.2.0T.03.01-02 Tahun 2016, di mana salah satu hitungan tarif yang beredar adalah Rp120.000 per kursi per tahun. PHRI dan pelaku usaha menganggap angka ini sangat memberatkan. Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, mengklarifikasi bahwa perhitungan tarif tidak dihitung 100% okupansi atau jumlah kursi dikalikan 365 hari, melainkan diberi kemudahan kurang lebih 60% okupansi. Selain itu, bisnis kuliner skala UMKM juga diberi keringanan tarif yang besarannya ditetapkan oleh menteri atau Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Keluhan Musisi dan Masalah Transparansi
Di sisi lain, kepentingan musisi dan pencipta lagu juga harus dihargai dan dilindungi. Namun, kelompok musisi mempertanyakan transparansi laporan rinci dari uang royalti yang berhak mereka dapatkan. Penyanyi Dewi Gita mengaku laporan penghitungan royalti dari LMKN kurang transparan, hanya menampilkan besaran persentase dan nominal tanpa detail area atau lingkup pemutaran.
Hal serupa diungkapkan Melly Goeslaw, yang royaltinya dalam setahun bisa mencapai Rp. 4,9 juta, namun nominalnya tidak tetap. Gitaris Padi Reborn, Piyu, bahkan hanya menerima royalti sekitar Rp. 125.000 pada tahun lalu dan Rp. 349.283 pada 2022. Pengamat musik Wendi Putranto menyebut adanya "trust issue" karena metode distribusi yang dianggap tidak akurat.
Meskipun perolehan royalti yang dikumpulkan LMKN meningkat pesat dari Rp. 495 juta pada 1991 menjadi Rp. 54,2 miliar pada 2024 , detil asal royalti hingga penggunaan dana operasional dan dana cadangan (yang didapat dari royalti tidak diklaim) tidak tercantum dalam laporan publik LMKN.id, dengan kolom laporan keuangan yang kosong.
Solusi dan Desakan Revisi Undang-Undang
Menanggapi polemik ini, berbagai pihak mendesak adanya solusi nyata:
Revisi Undang-Undang Hak Cipta: Ketua Umum PHRI, Hariyadi B Sukamdani, menilai UU No. 28 Tahun 2014 tidak lagi sesuai dengan perkembangan era digital, terutama pasal yang mengkategorikan semua musik yang diperdengarkan di ruang publik sebagai kegiatan komersial. Ia menegaskan perlunya revisi undang-undang, khususnya terkait sistem pemungutan (collecting) dan distribusi royalti.
Definisi Ulang "Komersial": PHRI mengusulkan bahwa kewajiban royalti hanya berlaku jika lagu terdaftar dalam Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) dan tidak berlaku bagi usaha yang tidak menggunakan lagu untuk keuntungan utama, seperti restoran dan hotel.
Transparansi dan Sistem Digital: Hariyadi mengusulkan pemanfaatan platform digital yang bisa memonitor lagu yang diputar, sehingga royalti bisa langsung disalurkan kepada pencipta secara transparan. Ia menyoroti minimnya sosialisasi LMKN terhadap aplikasi digital yang sebenarnya sudah tersedia.
Sengketa Perdata, Bukan Pidana: Hariyadi menegaskan bahwa sengketa royalti seharusnya dipandang sebagai perkara perdata, bukan pidana, agar tidak menimbulkan ketakutan berlebihan di kalangan pelaku usaha, merujuk pada kasus Mie Gacoan Bali.
Alternatif Creative Commons: Pengamat musik Wendi Putranto dan kurator musik Dimas Ario Adrianto mengusulkan musik berlisensi creative commons sebagai alternatif bagi pemilik tempat bisnis, karena tidak ada kewajiban membayar royalti pertunjukan untuk jenis musik ini.
Sejumlah musisi juga telah mengajukan gugatan uji materi Undang-undang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan royalti pada Maret 2025. Sepertinya hal ini menunjukkan polemik royalti musik ini membutuhkan solusi komprehensif yang menjamin hak pencipta lagu, tidak memberatkan pelaku usaha, sehingga tidak lantas "membunuh" pelaku usaha yang akhir akhir ini sedang berkembang, dan yang terpenting, dilakukan dengan transparansi penuh. (FG12)
Sumber :
Hukumonline, BBC - Indonesia, kbr.id