Revisi Sanksi Pidana UU Hak Cipta Dinilai Mendesak, Sesuaikan dengan Semangat KUHP Baru -->

Header Menu

Revisi Sanksi Pidana UU Hak Cipta Dinilai Mendesak, Sesuaikan dengan Semangat KUHP Baru

Jurnalkitaplus
04/08/25



Jurnalkitaplus – Ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta kembali menjadi sorotan. Hal ini menyusul uji materi yang diajukan oleh 29 musisi Tanah Air ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk Armand Maulana, Ariel "Noah", Titi DJ, dan Raisa, terkait lima pasal dalam UU tersebut—khususnya Pasal 113 Ayat (2).


Pasal tersebut mengatur ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda maksimal Rp500 juta bagi siapa pun yang menggunakan ciptaan secara komersial tanpa izin atau hak dari pemilik cipta. Para musisi menilai, pasal ini menciptakan ketakutan dalam ekosistem musik Indonesia, menyusul polemik-polemik sebelumnya, seperti kasus antara Agnes Monica dan pencipta lagu Ari Bias.


Dikutip dari Kompas, ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Albert Aries, dalam sidang MK pada Kamis (31/7/2025), menegaskan perlunya harmonisasi antara UU Hak Cipta dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Menurutnya, semangat KUHP baru selalu mengedepankan alternatif sanksi, termasuk prioritas pada pidana denda, bukan hanya penjara.


“Ke depan, ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pembentuk undang-undang—DPR dan pemerintah—agar tidak lagi merumuskan sanksi pidana secara kumulatif seperti yang terdapat di Pasal 113 Ayat (3) UU Hak Cipta,” ujarnya.


Di sisi lain, Dirjen Kekayaan Intelektual, Razilu, menjelaskan bahwa UU Hak Cipta sejatinya menggunakan prinsip ultimum remedium, yakni menjadikan pidana sebagai upaya terakhir. Ia menekankan bahwa sanksi pidana hanya bisa dikenakan jika penyelesaian melalui jalur perdata, arbitrase, atau mediasi tidak berhasil.


“UU Hak Cipta adalah administrative penal law yang memang mengandung pidana, tetapi pendekatannya bukan represif. Jika royalti sudah dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), maka penggunaan lagu tidak dikualifikasikan sebagai tanpa izin,” jelas Razilu.


Ia pun mengingatkan bahwa upaya pidana tidak dapat diajukan sembarangan. Sengketa harus terlebih dahulu diselesaikan melalui jalur resmi seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau lembaga lain yang diakui negara. (FG12)