Waroeng Kopi Newsroom — Gak semua yang niatnya baik, hasilnya juga manis, Bro! Contohnya nih, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Meski katanya buat ngelindungi data kita biar gak gampang bocor kayak ember bocor, tapi dua pasal di dalamnya malah bikin koalisi masyarakat sipil panas dingin.
Pasal yang dipermasalahkan? Nih, catet: Pasal 65 Ayat (2) dan Pasal 67. Kalau dibaca sekilas, kayaknya bener juga sih. “Setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya.” Tapi tunggu dulu, pasal ini dianggap karet. Bukan karet gelang ya, tapi bisa lentur ke mana-mana.
Direktur LBH Pers, Mas Mustafa, bilang pasal ini bisa menjerat siapa aja. Gak peduli lu jurnalis, seniman, dosen, atau netizen julid. Pokoknya, kalau nyebutin data pribadi orang tanpa izin, bisa kena pasal ini. Bahkan tanpa harus nunggu ada korban atau dampak.
“Bayangin aja, jurnalis nulis soal pejabat publik, terus si pejabat baper, lapor polisi. Jurnalisnya bisa dipenjara! Lah, gimana mau kawal demokrasi?” ujar Mas Mustafa dengan nada yang mungkin sambil ngopi pahit.
Yang ajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pun bukan kaleng-kaleng: ada AJI (Aliansi Jurnalis Independen), Safenet, akademisi Masduki, dan pelaku seni Amri Al-Mutsalat. Mereka sepakat pasal itu mesti dikasih pengecualian buat tujuan jurnalistik, kesenian, sastra, dan akademik.
Lebih parahnya lagi, menurut Mbak Gema Gita dari LBH Pers, UU PDP ini gak ngatur secara khusus soal data pejabat publik. Padahal, logikanya data pejabat harusnya jadi konsumsi publik dong. Tapi karena pasal ini gak ngejelasin itu, jurnalis bisa terancam cuma gara-gara ngungkap catatan kriminal atau rekening pejabat.
Ketua AJI, Mbak Nani Afrida, juga ikut angkat suara. Ia bilang kerja jurnalis ke depan bisa makin ribet kalau pasal ini gak dibenahi. Padahal jurnalis bukan ngumpulin data buat koleksi pribadi, tapi buat ngasih info yang penting ke masyarakat.
Intinya, UU PDP niatnya emang bagus. Tapi ya gitu, jangan sampe jadi senjata makan tuan. Harusnya ada ruang buat kerja-kerja yang justru ngawal demokrasi, kayak jurnalisme, seni kritik, sampai kajian akademik.
Yuk, kita tunggu aja hasil uji materi di Mahkamah Konstitusi. Semoga pasalnya gak makin ngambang kayak balon gas. Karena demokrasi butuh kritik, bukan malah dibungkam pakai pasal karet. Sruput dulu kopinya, Bro! ☕
(FG12)