Perceraian di Usia Senja: Fenomena "Grey Divorce" yang Semakin Marak di Era Modern -->

Header Menu

Perceraian di Usia Senja: Fenomena "Grey Divorce" yang Semakin Marak di Era Modern

Jurnalkitaplus
21/09/25



Jurnalkitaplus - Perceraian tidak lagi hanya terjadi di masa muda atau paruh baya, tetapi kini juga marak terjadi di usia senja, terutama pada usia di atas 50 tahun. Fenomena yang dikenal dengan istilah "perceraian senja" atau dalam bahasa Inggris disebut "grey divorce" ini menjadi perhatian banyak sosiolog dan media internasional.

Di Korea Selatan, fenomena ini disebut "Hwang-hon-ki," sementara di Eropa dan Amerika Utara, istilah grey divorce merujuk pada perceraian saat rambut pasangan sudah beruban—simbol usia yang telah matang. Warna abu-abu dari uban ini menjadi lambang alami dari perubahan yang terjadi pada hubungan pernikahan di usia lanjut.

Menurut laporan BBC pada 12 September 2025, peningkatan usia harapan hidup menjadi salah satu faktor utama penyebab tingginya angka perceraian di usia senja. Di Korea Selatan, rata-rata harapan hidup pria mencapai 80,3 tahun dan wanita 86,3 tahun, sehingga mereka yang sudah berusia 50 atau 60 tahun masih memiliki puluhan tahun hidup untuk dijalani. Hal ini memberikan peluang bagi pasangan untuk mempertimbangkan kembali kebahagiaan dan kepuasan mereka dalam pernikahan.

Sosiolog Sangyoub Park dari Washburn University menyatakan bahwa masyarakat Korea Selatan kini lebih individualis dan modern sehingga nilai tradisional keluarga mulai berubah. Kini, pernikahan lebih banyak dituntut untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan perkembangan individu, bukan semata-mata kewajiban sosial. Selain itu, peningkatan pendidikan dan karier perempuan membuat mereka lebih mandiri secara finansial, sehingga tidak bergantung pada suami dan berani mengambil keputusan bercerai jika pernikahan tidak memuaskan.

Peneliti lain dari Bowling Green State University, Susan Brown dan I-Fen Lin, juga mencatat lonjakan signifikan dalam angka perceraian lansia di Amerika Serikat selama beberapa dekade terakhir. Data menunjukkan perceraian perempuan di atas 65 tahun meningkat dari 1,4 per 1.000 pada 1990 menjadi 5,6 per 1.000 pada 2021.

Selain faktor ekonomi dan sosial, banyak pasangan yang menemukan bahwa pernikahan selama puluhan tahun lebih didominasi oleh peran sebagai orangtua. Setelah anak-anak mandiri, ketidakharmonisan yang selama ini tersimpan jadi terasa lebih nyata. Mereka juga merasa sulit menemukan kesamaan atau kebahagiaan yang dulu ada.

Dalam konteks global, konselor pernikahan di berbagai negara mengamati bahwa semakin berkembangnya ekspektasi terhadap pernikahan—yang harus menjadi mitra terbaik, sahabat, dan pendukung emosional—membuat pasangan yang gagal memenuhi harapan ini lebih memilih berpisah daripada bertahan dalam ketidakbahagiaan.

Fenomena perceraian senja ini membuka babak baru dalam kehidupan banyak orang, memberikan kesempatan untuk mengejar kebahagiaan dan pengembangan diri yang mungkin sulit dicapai dalam pernikahan yang tidak lagi memuaskan. (FG12)