Jurnalkitaplus - Kompak, beberapa partai politik menonaktifkan anggotanya sebagai anggota DPR sebagai imbas dari reaksi dan komentar yang dianggap mencederai perasaan rakyat terkait isu kenaikan tunjangan DPR. Empat anggota DPR RI, yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach (Fraksi NasDem), serta Eko Patrio dan Uya Kuya (Fraksi PAN), resmi dinonaktifkan mulai 1 September 2025. Namun, apa sebenarnya perbedaan antara status “nonaktif” dan “dipecat” yang kini ramai diperbincangkan publik?
Menurut laporan Kompas.com, status nonaktif tidak sama dengan dipecat. Anggota DPR yang dinonaktifkan, seperti keempat nama tersebut, masih tetap tercatat sebagai anggota dewan aktif dan berhak menerima gaji serta fasilitas keuangan lainnya, termasuk tunjangan rumah sebagaimana diatur dalam Surat Sekjen DPR No. B/733/RT.01/09/2024. Namun, mereka kehilangan hak untuk menghadiri rapat-rapat DPR, seperti rapat paripurna atau komisi, hingga statusnya dikembalikan oleh partai atau DPR.
Sebaliknya, status “dipecat” berarti pemberhentian total dari keanggotaan DPR, yang menyebabkan hilangnya semua hak, termasuk gaji dan fasilitas. Pemecatan biasanya dilakukan karena pelanggaran berat, seperti tindakan kriminal, dan bersifat permanen. Mantan anggota DPR RI Fraksi NasDem periode 2014–2019, Zulfan Lindan, menilai istilah “nonaktif” cenderung abu-abu dan bisa menimbulkan persepsi bahwa anggota yang dinonaktifkan masih berpeluang kembali aktif, sehingga kurang tegas sebagai bentuk hukuman.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, menambahkan bahwa penonaktifan ini sering kali menjadi strategi partai untuk meredam kemarahan publik tanpa benar-benar mencabut keanggotaan anggota DPR. “Ini seperti jalan tengah, tapi publik menilai kurang tegas,” ujarnya dalam wawancara di Kompas Petang, Kompas TV, pada Minggu (31/8/2025).
Polemik ini bermula dari pernyataan kontroversial para anggota DPR terkait kenaikan tunjangan, yang memicu gelombang demonstrasi di berbagai daerah. Massa menilai pernyataan tersebut tidak sensitif terhadap kondisi rakyat, terutama di tengah tantangan ekonomi. Partai NasDem, misalnya, menyatakan penonaktifan dilakukan karena pernyataan anggotanya dianggap menyimpang dari perjuangan partai, sebagaimana disampaikan oleh Hermawi pada Minggu (31/8/2025) di Jakarta.
Meski demikian, status nonaktif ini memunculkan pertanyaan di kalangan publik: apakah langkah ini cukup untuk menjawab aspirasi rakyat, atau hanya sekadar formalitas untuk menenangkan situasi? Dengan dinamika politik yang terus berkembang, langkah partai dan DPR ke depan akan terus menjadi sorotan.
Sumber: Kompas.com