Bonus Demografi: Peluang Emas atau Bencana Sosial di Depan Mata? -->

Header Menu

Bonus Demografi: Peluang Emas atau Bencana Sosial di Depan Mata?

Jurnalkitaplus
04/09/25



Jurnalkitaplus - Bonus Demografi Indonesia yang terjadi dari tahun 2012 hingga diprediksi berakhir pada 2041, kini berada di persimpangan kritis. Dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 196,1 juta jiwa dan 66,8 juta di antaranya adalah generasi Z berusia 15-29 tahun pada 2025, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi bangsa maju. Namun, gelombang unjuk rasa yang berujung ricuh, bahkan memakan korban jiwa di sejumlah daerah, menjadi alarm bahwa bonus demografi ini bisa berbalik menjadi bencana jika tidak dikelola dengan baik.


Populasi Muda: Energi Besar, Risiko Tinggi


Pada 2025, Indonesia memiliki populasi 284,4 juta jiwa dengan median usia 30,4 tahun, di mana 86 persen pemuda didominasi generasi Z. Menurut Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI), Sudibyo Alimoeso, generasi muda yang energik dan beraspirasi tinggi ini bisa menjadi pendorong kemajuan jika kebutuhan mereka akan pendidikan dan lapangan kerja terpenuhi. Namun, jika aspirasi mereka terhambat, energi tersebut dapat berubah menjadi gelombang demonstrasi dan ketidakpuasan sosial yang merusak. “Kegagalan memanfaatkan bonus demografi berisiko menciptakan masalah sosial, ekonomi, dan politik berkepanjangan,” ujar Sudibyo di Jakarta, Rabu (3/9/2025).


Krisis Lapangan Kerja dan Kesenjangan Keterampilan


Guru Besar Geografi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Sukamdi, menyoroti terbatasnya ketersediaan lapangan kerja sebagai masalah utama. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka tertinggi ada pada lulusan SMK (9,01 persen), SMA (7,05 persen), dan universitas (5,25 persen). Laporan Bank Dunia 2023 bahkan menyebut tingkat pengangguran usia produktif Indonesia mencapai 13,9 persen, tertinggi di Asia Tenggara. Banyak pekerja terjebak di sektor informal dengan upah rendah dan minim jaminan sosial.


Sudibyo menambahkan, dari kebutuhan 5-7 juta lapangan kerja baru per tahun, pemerintah hanya mampu menciptakan 2,5-3 juta pekerjaan. Program seperti Kartu Prakerja, pendidikan vokasi, dan insentif investasi belum mampu menyerap tenaga kerja secara masif. Kesenjangan keterampilan antara lulusan dan kebutuhan industri, ditambah lambatnya reformasi birokrasi dan kebijakan investasi, memperparah situasi.


Unjuk Rasa: Luapan Aspirasi yang Terabaikan


Gelombang demonstrasi di berbagai daerah, yang diwarnai bentrokan dengan polisi, pembakaran fasilitas publik, hingga penjarahan, mencerminkan pampatnya aspirasi generasi muda. Namun, tuntutan mereka tidak hanya soal kesejahteraan ekonomi. Mereka menginginkan keadilan substantif, sistem yang inklusif, serta transparansi dan akuntabilitas dalam kebijakan publik. “Pemuda ingin partisipasi aktif dalam demokrasi, bukan hanya memilih setiap lima tahun,” kata Sudibyo.


Kesenjangan sosial juga memicu ketegangan. Di tengah sebagian masyarakat berjuang untuk pekerjaan, sejumlah pejabat dan keluarganya justru memamerkan kekayaan, sementara kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme terus mencuat. Sikap arogan dan kurangnya empati dari pejabat publik semakin memicu kemarahan, yang meletup dalam unjuk rasa selama beberapa pekan terakhir.


Risiko Bencana Demografi dan Ancaman Ketidakstabilan


Tanpa intervensi yang tepat, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana. Sukamdi memperingatkan risiko ketidakstabilan politik dan keresahan sosial, termasuk potensi aksi kriminal hingga terorisme, jika aspirasi penduduk muda terus terabaikan. Ia bahkan menyebut kemungkinan kerusuhan seperti 1998 atau gejolak ala Arab Spring jika situasi tidak terkendali. Ketidakstabilan politik juga dapat memperburuk ekonomi, mendorong masyarakat kembali ke jurang kemiskinan, menciptakan lingkaran setan yang merugikan kelas bawah.


Langkah Strategis untuk Sisa Waktu


Dengan sisa waktu bonus demografi hingga 2041, pemerintah perlu bertindak cepat. Sudibyo menekankan pentingnya kebijakan berbasis struktur kependudukan, seperti peningkatan kualitas pendidikan, pelatihan yang selaras dengan industri, dan penciptaan lapangan kerja formal. Pemerintah daerah juga harus berinovasi sesuai kebutuhan lokal, mengingat tantangan kependudukan berbeda di setiap wilayah. “Bonus demografi bukan retoris semata. Implementasi nyata jauh lebih penting daripada pidato,” tegasnya.


Jika langkah-langkah ini tidak diambil, visi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi mimpi. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama, melibatkan pemuda dalam pengambilan kebijakan, dan memastikan keadilan sosial untuk mencegah bencana demografi yang mengintai. (FG12)