Pidato Remaja Nepal yang Menggelegar: Pemicu Amarah Gen Z dan Demo Besar-besaran Menuju Perubahan Politik -->

Header Menu

Pidato Remaja Nepal yang Menggelegar: Pemicu Amarah Gen Z dan Demo Besar-besaran Menuju Perubahan Politik

Jurnalkitaplus
14/09/25



JURNALKITAPLUS – Sebuah pidato sederhana dari seorang remaja Nepal menjadi pemicu amarah generasi muda yang meledak-ledak, hingga memicu demonstrasi besar-besaran yang mengguncang pemerintahan negara Himalaya tersebut. Video pidato Abiskar Raut, siswa SMA asal Nepal, yang diunggah pada akhir Maret lalu, tiba-tiba viral di media sosial pada akhir Agustus 2025. Pidato ini bukan hanya inspirasi, tapi juga nyalakan api perlawanan terhadap korupsi dan ketidakadilan yang merajalela di negeri itu.


Dalam pidato yang disampaikan saat acara tahunan Holy Bell English Secondary School, Raut menyuarakan mimpi besar untuk membangun Nepal baru yang bebas dari korupsi. Ia mengkritik pemerintah yang gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, serta menyoroti beban berat yang dialami pemuda Nepal akibat pengangguran, permainan politik, dan korupsi yang meredupkan masa depan mereka. "Nepal adalah tanah air kita, yang hanya meminta kejujuran, kerja keras, dan kontribusi dari kita," ujar Raut dalam pidatonya, seperti dikutip dari video yang beredar luas.


Raut tak segan menyerukan aksi nyata dari generasi mudanya. "Kalau bukan kalian yang bersuara, siapa lagi? Kalau bukan kalian yang membangun bangsa ini, siapa lagi?" tanyanya dengan penuh semangat. Ia membandingkan pemuda Nepal sebagai "api yang akan membakar habis kegelapan" dan "badai yang akan menyapu bersih ketidakadilan serta membawa kemakmuran". Bahkan, Raut mengutip kata-kata Raja Birendra: "Sekalipun aku mati, negaraku akan tetap hidup," untuk mengingatkan bahwa perjuangan harus terus berlanjut. Pidato itu ditutup dengan pernyataan tegas, "Nepal milik kita dan masa depan ada di tangan kita."


Pidato ini datang di saat yang tepat, ketika Gen Z Nepal sudah muak dengan praktik korupsi, sensor ketat, dan pemerintahan otoriter di bawah Perdana Menteri Oli Sharma. Demonstrasi anti-korupsi meletus di berbagai kota, mengecam pembatasan kebebasan berpendapat dan larangan media sosial yang sempat diberlakukan pemerintah. Larangan itu akhirnya dicabut pada 9 September 2025, memungkinkan aplikasi seperti Facebook dan TikTok kembali beroperasi, tapi amarah massa tak kunjung reda.


Protes-protes itu berubah tragis ketika aparat keamanan merespons dengan kekerasan ekstrem. Mereka menggunakan gas air mata, peluru karet, hingga amunisi sungguhan untuk membubarkan kerumunan. Akibatnya, setidaknya 21 orang tewas, kebanyakan akibat tindakan polisi. Insiden ini justru memicu gelombang kemarahan lebih besar. Pada 9 September, demonstran bersenjata berkumpul di luar kompleks istana Singha Durbar, menuntut pengunduran diri PM Sharma. Meski pemerintah memohon ketenangan dan memberlakukan jam malam, aksi tetap berlanjut, menunjukkan betapa dalamnya ketidakpuasan masyarakat.


Puncaknya, tekanan massa berhasil memaksa Oli Sharma mundur. Pada Jumat, 12 September 2025, mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal, Sushila Karki, dilantik sebagai Perdana Menteri transisi. Penunjukan ini diharapkan membawa angin segar bagi reformasi, meski tantangan masih menanti di tengah ketegangan yang belum sepenuhnya mereda.


Di era media sosial, suara seperti ini bisa menjadi katalisator revolusi, mengingatkan kita bahwa pemuda sering kali menjadi motor penggerak sejarah. Saat Nepal memasuki fase transisi, dunia menanti apakah mimpi "Nepal baru" yang digaungkan Raut akan terwujud, atau justru menghadapi badai baru. (FG12)