Tunjangan Perumahan DPRD Disorot: Kemendagri Diminta Pangkas Anggaran di RAPBD 2026 -->

Header Menu

Tunjangan Perumahan DPRD Disorot: Kemendagri Diminta Pangkas Anggaran di RAPBD 2026

Jurnalkitaplus
11/09/25



Jurnalkitaplus - Tunjangan perumahan anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota menjadi sorotan publik karena nominalnya yang dinilai fantastis, bahkan melebihi tunjangan anggota DPR RI sebesar Rp 50 juta per bulan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) didesak untuk memangkas anggaran tersebut saat mengevaluasi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2026, dengan memastikan kepatutan dan kewajaran berdasarkan harga sewa rumah setempat.

Berdasarkan data, tunjangan perumahan pimpinan DPRD DKI Jakarta mencapai Rp 78,8 juta per bulan, sementara anggota DPRD Jakarta menerima Rp 70,4 juta. Di Jawa Barat, pimpinan DPRD mendapat Rp 64 juta dan anggota Rp 62 juta per bulan. Angka-angka ini memicu protes masyarakat, yang menilai DPRD tidak berempati di tengah kesulitan ekonomi rakyat. Demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus 2025 menjadi puncak kekecewaan publik terhadap tunjangan DPR dan DPRD.


Kemendagri Diminta Bertindak Tegas

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Djohermansyah Djohan, menegaskan bahwa Kemendagri memiliki wewenang untuk menyatakan tunjangan tersebut berlebihan saat mengevaluasi RAPBD 2026. Ia menyarankan agar Kemendagri membandingkan tunjangan dengan rata-rata harga sewa rumah di daerah terkait untuk memastikan kepatutan. “Misalnya, jika harga sewa rumah di Jakarta rata-rata Rp 35 juta per bulan, tunjangan bisa diturunkan ke angka tersebut,” ujarnya.

Namun, Djohermansyah menyoroti tantangan dalam proses evaluasi. Dokumen RAPBD yang masuk ke Kemendagri biasanya hanya berupa ringkasan umum, sehingga sulit mendeteksi detail nominal tunjangan. Ia mendesak Kemendagri meminta data rinci dari pemerintah daerah dan menguji kepatutan dengan mekanisme objektif, seperti survei harga sewa rumah di masing-masing provinsi.


Celah Aturan dan Subjektivitas

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N Suparman, menjelaskan bahwa tunjangan DPRD diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Aturan ini mencakup sembilan komponen penghasilan, seperti uang representasi, tunjangan beras, dan tunjangan komunikasi intensif. Namun, tunjangan kesejahteraan—termasuk tunjangan perumahan—tidak memiliki formula baku, sehingga penentuannya bergantung pada “kepatutan dan kewajaran” yang cenderung subjektif.

“Celah ini memungkinkan pemerintah daerah menetapkan tunjangan dengan interpretasi yang longgar, membuka ruang untuk permainan anggaran,” kata Herman. Ketidakjelasan formula ini menjadi akar masalah besarnya tunjangan di sejumlah daerah, seperti Jakarta dan Jawa Barat.


Evaluasi RAPBD 2026 Jadi Momentum

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Benni Irwan, menyatakan bahwa proses RAPBD 2026 masih berlangsung di tingkat pemerintah daerah dan DPRD provinsi. Meski belum ada pengajuan evaluasi ke Kemendagri, ia menegaskan bahwa sorotan publik terhadap tunjangan perumahan akan menjadi perhatian utama saat evaluasi dilakukan. “Kami akan memastikan evaluasi dilakukan bersama pemerintah daerah untuk menjawab aspirasi masyarakat,” ujarnya.

Sejumlah daerah, seperti Jawa Barat, telah menyatakan kesiapan mengevaluasi tunjangan perumahan menyusul protes masyarakat. Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, MQ Iswara, mengungkapkan bahwa evaluasi akan dilakukan bersama Kemendagri, dengan mempertimbangkan pajak progresif yang mengurangi tunjangan bersih menjadi sekitar Rp 44 juta per bulan.


Urgensi Reformasi Tunjangan

Sorotan terhadap tunjangan perumahan DPRD mencerminkan kebutuhan mendesak untuk reformasi pengelolaan anggaran daerah yang lebih transparan dan berpihak pada rakyat. Dengan RAPBD 2026 sebagai momentum, Kemendagri diharapkan dapat menetapkan standar yang lebih ketat dan objektif untuk memastikan tunjangan DPRD tidak lagi memicu kontroversi. Langkah ini juga diharapkan memperkuat kepercayaan publik terhadap wakil rakyat dan pemerintah daerah di tengah tantangan ekonomi yang sedang dihadapi masyarakat. (FG12)