Kekacauan Program Makan Bergizi Gratis: Indikasi Korupsi dan Perencanaan Buruk -->

Header Menu

Kekacauan Program Makan Bergizi Gratis: Indikasi Korupsi dan Perencanaan Buruk

Jurnalkitaplus
15/10/25



JURNALKITAPLUS – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia terhimpit masalah serius, mulai dari pelaksanaan yang kacau hingga indikasi korupsi. Editorial Tempo edisi 12 Oktober 2025 mengungkap bahwa program ini tidak hanya gagal mencapai target, tetapi juga mencerminkan perencanaan buruk dan praktik penyimpangan anggaran.

Dengan alokasi anggaran sebesar Rp 71 triliun pada tahun ini, Badan Gizi Nasional (BGN) hanya mampu menyerap Rp 13 triliun hingga September 2025. Untuk tahun depan, anggaran MBG melonjak menjadi Rp 335 triliun, dengan Rp 233 triliun diambil dari dana pendidikan, namun efektivitasnya tetap dipertanyakan. Dari alokasi Rp 15 ribu per siswa per hari, hanya Rp 10 ribu dialokasikan untuk bahan baku makanan, sementara Rp 2.000 untuk sewa peralatan dan Rp 3.000 untuk operasional. Parahnya, di beberapa daerah, nilai porsi makanan hanya Rp 6.000 akibat potongan tambahan oleh mitra program.

Kualitas Menu dan Keracunan Massal 
Kualitas menu MBG menjadi sorotan utama. Banyak sekolah menyajikan makanan ultra-olahan, minuman bubuk berenergi, dan biskuit yang minim gizi, bahkan kadang basi, sehingga siswa enggan memakannya. Kasus keracunan massal, seperti yang terjadi di Cianjur, menambah daftar masalah program ini. Namun, laporan resmi pemerintah hanya mencatat jumlah porsi yang disajikan, mengabaikan makanan yang terbuang atau tidak layak konsumsi.

Indikasi Korupsi dan Kroni Politik  
Lebih memprihatinkan, program MBG diduga menjadi ladang bagi-bagi proyek kepada kroni politik. Banyak mitra penyedia makanan memiliki hubungan dengan politikus dari partai penguasa, memunculkan dugaan korupsi. Praktik ini diperparah dengan minimnya transparansi, di mana isu penyimpangan anggaran dan kualitas makanan buruk tidak pernah dibahas secara terbuka. Editorial Tempo menyoroti kecenderungan birokrasi untuk menyampaikan laporan “asal bapak senang,” serupa dengan praktik pada era Orde Baru atau pertanian kolektif Stalin di Uni Soviet, yang berujung pada bencana kelaparan Holodomor.

Kemiskinan Struktural Diabaikan  
Menurut analisis Tempo, akar masalah gizi buruk anak-anak adalah kemiskinan struktural, yang tidak disentuh oleh program MBG. Prabowo dinilai terburu-buru meluncurkan program ini sebagai janji kampanye tanpa perencanaan matang, sehingga berbagai masalah terus bermunculan. Presiden juga disebut enggan menerima kritik atas kegagalan program ini, sementara anak buahnya cenderung menyampaikan informasi yang menyenangkan demi menjaga posisi.

Peringatan dari Sejarah  
Paralel dengan program pertanian kolektif Stalin yang menyebabkan jutaan orang kelaparan di Ukraina, MBG berisiko mengulang kegagalan serupa jika tidak ada evaluasi menyeluruh. Tanpa keterbukaan terhadap kritik dan perbaikan sistem, program ini dapat menimbulkan kerugian besar, baik dari sisi ekonomi maupun kesehatan masyarakat. Pemerintah diminta segera mengevaluasi pelaksanaan MBG, menangani dugaan korupsi, dan fokus pada solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan dan gizi buruk. (TEMPO)