Kisah Kelam Amangkurat I: Raja Mataram yang Zalim dan Pemicu Kemunduran Kerajaan -->

Header Menu

Kisah Kelam Amangkurat I: Raja Mataram yang Zalim dan Pemicu Kemunduran Kerajaan

Jurnalkitaplus
18/10/25

 


Jurnalkitaplus - Amangkurat I, raja keempat Kesultanan Mataram yang berkuasa dari 1646 hingga 1677, dikenang sebagai salah satu penguasa paling bengis dalam sejarah Jawa. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung, yang membawa Mataram ke puncak kejayaan, Amangkurat I justru memimpin dengan kekejaman yang memicu kemunduran kerajaan. Pemerintahannya diwarnai pembantaian massal, intrik politik, dan kehilangan dukungan rakyat, yang akhirnya mengantarkan keruntuhan kekuasaannya.


Kebengisan Sejak Awal Kekuasaan

Amangkurat I, yang lahir sebagai Raden Mas Sayyidin pada 1618 atau 1619, naik takhta menggantikan Sultan Agung. Ia berupaya mengkonsolidasikan kekuasaan Mataram melalui sentralisasi pemerintahan dan menumpas pemberontakan. Namun, metode yang digunakan sangat kejam. Menurut sejarawan Merle Calvin Ricklefs, Amangkurat I kerap menghabisi lawan politiknya, baik dari kalangan istana maupun daerah, untuk menegakkan otoritasnya.


Salah satu contoh awal kekejamannya terjadi pada 1647, ketika ia memerintahkan pembunuhan Tumenggung Wiraguna, panglima Mataram, yang dikirim untuk mengusir pasukan Bali di Jawa Timur. Tak hanya Wiraguna, keluarganya pun dibantai. Tindakan serupa berulang, termasuk pembunuhan Pangeran Pekik, ayah mertuanya, pada 1659, karena alasan sepele terkait pernikahan seorang gadis yang diinginkan Amangkurat I sebagai selir.


Puncak kekejaman terjadi saat ia memerintahkan pembantaian massal terhadap sekitar 5.000 hingga 6.000 ulama dan keluarganya. Peristiwa ini dipicu oleh pemberontakan Pangeran Alit, adik Amangkurat I, yang didukung para ulama. Setelah kudeta gagal dan Pangeran Alit tewas, Amangkurat I memerintahkan pasukan khusus untuk membunuh para ulama secara serentak, ditandai dengan letusan meriam Ki Sapujagat. Menurut catatan pejabat VOC Rijcklofs van Goen, operasi berdarah ini hanya berlangsung sekitar 30 menit.


Istana Plered dan Paranoia Sang Raja

Pada 1647, Amangkurat I memindahkan pusat kerajaan dari Kotagede ke Plered, membangun istana megah berdinding batu merah yang melambangkan kekokohan kekuasaannya. Namun, di balik kemegahan itu, ia semakin paranoid. Sejarawan Soemarsaid Moertono menyebut Amangkurat I sebagai raja yang “istimewa lalimnya,” selalu hidup dalam ketakutan meski dijaga pasukan khusus. Kebiasaannya membunuh tanpa pandang bulu membuat loyalis dan rakyat semakin menjauh.


Berbeda dengan Sultan Agung, yang dikenal sebagai penakluk ulung, Amangkurat I lebih mengandalkan kekerasan daripada diplomasi. Ricklefs mencatat bahwa jika Sultan Agung menaklukkan dengan bujukan dan manuver, Amangkurat I hanya “menuntut dan membantai.” Kebijakannya menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal di wilayah pesisir juga melemahkan ekonomi Mataram, sengaja dilakukan untuk mencegah munculnya kekuatan tandingan.


Aliansi dengan VOC dan Kemunduran Mataram

Berbeda dengan sikap keras Sultan Agung terhadap Belanda, Amangkurat I justru menjalin aliansi dengan VOC. Ia mengakui kekuasaan politik VOC di Batavia dan mengizinkan campur tangan mereka dalam urusan kerajaan. Akibatnya, wilayah Mataram menyempit karena aneksasi Belanda, menandai awal kemunduran Kesultanan Mataram.


Kezalimannya memicu perlawanan rakyat, yang dipimpin oleh Raden Trunojoyo dari Madura pada 1677. Didukung para pejabat istana yang muak dengan Amangkurat I, Trunojoyo berhasil merebut Keraton Plered. Amangkurat I melarikan diri ke Cirebon untuk meminta bantuan VOC, namun dalam pelariannya, ia jatuh sakit dan meninggal di Wanayasa, Banyumas, pada 10 Juli 1677. Jenazahnya dimakamkan di Tegalwangi, Tegal.


Akhir Kekuasaan dan Warisan Kelam

Setelah kematian Amangkurat I, putranya, Pangeran Adipati Anom, naik takhta sebagai Amangkurat II. Dengan bantuan VOC, Trunojoyo berhasil dilumpuhkan pada 1679, tetapi Mataram tak pernah kembali ke kejayaannya. Kekejaman Amangkurat I meninggalkan luka mendalam, menghancurkan mufakat para pembesar dan rakyat, serta membuka jalan bagi campur tangan asing yang semakin kuat.


Kisah Amangkurat I menjadi pengingat kelam bahwa kekuasaan tanpa keadilan hanya akan mengantarkan kehancuran. Warisannya sebagai raja zalim terus dikenang sebagai salah satu babak tergelap dalam sejarah Kesultanan Mataram.


Artikel rangkuman dari artikel yang pernah tayang di majalah 7urnalkita+ Edisi 55 dengan judul Kisah Raja Jawa Ini Makin Ganas Usai Pindah ke Istana Baru