Polemik Kepsek SMAN 1 Cimarga Tampar Murid Merokok: Antara Teguran Disiplin, Reaksi Emosional, dan Desakan Revisi UU Sisdiknas -->

Header Menu

Polemik Kepsek SMAN 1 Cimarga Tampar Murid Merokok: Antara Teguran Disiplin, Reaksi Emosional, dan Desakan Revisi UU Sisdiknas

Jurnalkitaplus
17/10/25



Jurnalkitaplus — Kasus penonaktifan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, Dini Fitria, karena menampar siswanya yang kedapatan merokok di sekolah, menuai reaksi beragam dari publik dan para pemangku kebijakan. Peristiwa yang bermula dari pelanggaran disiplin siswa kini berkembang menjadi perdebatan nasional soal batas antara teguran pendidik dan kekerasan yang bisa berujung pidana.


Kronologi Kasus


Seperti diberitakan dari laman kompas.com, kejadian bermula pada Jumat (10/10/2025), saat kegiatan Jumat Bersih di sekolah. Dini melihat asap rokok dari tangan siswa berinisial ILP (17) dan langsung menegur dari jarak 20 meter. Siswa itu lari, membuat sang kepala sekolah semakin kesal karena merasa anak tersebut tidak jujur mengakui perbuatannya.


“Saya spontan menegur dengan keras, bahkan sempat menepuk punggungnya karena menahan emosi. Tidak ada tamparan keras, apalagi tendangan,” kata Dini. Namun, orangtua siswa, Tri Indah Alesti, tak terima dan melapor ke Polres Lebak atas dugaan kekerasan terhadap anak.


Laporan itu memicu aksi mogok sekolah oleh 630 siswa SMAN 1 Cimarga pada Senin (13/10/2025) sebagai bentuk protes atas penonaktifan sementara Dini oleh Gubernur Banten, Andra Soni. Pemerintah kemudian mempertemukan kedua pihak, dan pada Kamis (16/10/2025) disepakati islah atau perdamaian, serta pencabutan laporan polisi oleh keluarga siswa.


Komentar DPR: Perlu Proteksi Bagi Guru


Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal, menilai kasus ini harus menjadi refleksi nasional dalam dunia pendidikan. Menurutnya, perlu ada batas yang jelas antara disiplin dan kekerasan, agar guru tidak selalu berada dalam posisi terancam ketika menegur murid.


“Kalau setiap teguran keras dari guru langsung direspons laporan polisi, bagaimana masa depan lembaga pendidikan kita?” ujar Cucun di Jakarta, Rabu (15/10/2025).


Cucun mendorong agar revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) ke depan memuat ketentuan yang melindungi tenaga pendidik. “Harus ada barrier antara guru dan orangtua murid. Kalau tidak, nanti kita kehilangan generasi berakhlak karena takut ditegur,” tegasnya.


Pandangan Pakar Pendidikan


Menurut Pakar Pendidikan Bukik Setiawan, semua pihak dalam kasus ini bereaksi secara emosional dan instan. Ia menilai, Dini memang salah karena melanggar hak anak, namun reaksi murid, orangtua, dan pemerintah juga terlalu cepat tanpa pendekatan dialogis.


“Kepala sekolah reaksioner instan pada murid yang merokok, murid instan mogok sekolah, orangtua instan melapor ke polisi,” ujar Bukik.


Bukik menilai kepala sekolah seharusnya bertindak lebih sistemik dan edukatif, bukan dengan emosi. Ia menyarankan penggunaan pendekatan disiplin positif, yang melibatkan guru, murid, dan orangtua dalam membangun budaya sekolah yang manusiawi namun tetap tegas terhadap pelanggaran.


“Pemerintah daerah juga harus adaptif, menegakkan hak murid tapi tetap memastikan keadilan bagi semua pihak. Sekolah perlu diperkuat lewat pelatihan kepemimpinan adaptif dan sistem disiplin berbasis dialog, bukan hukuman,” tambahnya.


Berakhir Damai, Tapi Menyisakan PR


Kasus ini akhirnya berujung damai. Orangtua siswa mencabut laporan, dan Dini akan diaktifkan kembali sebagai Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga setelah melalui proses islah yang difasilitasi pemerintah daerah.


Namun, peristiwa ini menyisakan pekerjaan rumah besar bagi dunia pendidikan: menyeimbangkan perlindungan hak anak dan wibawa guru. Tanpa batas yang jelas, disiplin bisa disalahartikan sebagai kekerasan, sementara pembiaran bisa melahirkan generasi tanpa karakter.


Sebagaimana disampaikan Cucun Ahmad Syamsurijal dikutip dari Kompas.com, “Pendidikan harus tetap berakar pada budaya dan akhlak bangsa, bukan semata pada tafsir hukum yang kaku.” (FG12)