Jurnalkitaplus - Persoalan penanganan sampah di Indonesia kembali menjadi perhatian utama setelah Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol memprioritaskan sektor ini sejak awal masa jabatannya. Namun, upaya perbaikan pengelolaan sampah terbentur pada minimnya alokasi anggaran daerah yang rata-rata hanya 1-3 persen dari total APBD.
Langkah Tegas Menteri dan Tantangan Anggaran
Menteri Hanif menutup beberapa TPA open dumping dan mengirim surat peringatan kepada ratusan kepala daerah agar mematuhi kebijakan nasional sesuai Undang-Undang 18/2008. Walau langkah ini berhasil meningkatkan nilai pengelolaan di sejumlah daerah, dampak masif sulit tercapai bila anggaran kurang memadai.
Di kota Surabaya dan Ciamis, penanganan sampah relatif sukses berkat dukungan anggaran besar. Sementara Banyumas menonjol karena partisipasi masyarakat, dengan anggaran jauh lebih kecil tetapi hasil yang optimal.
Konsep Modern dan Kritik Waste to Energy
Instruksi Presiden untuk mengatasi permasalahan sampah lewat model waste to energy (WTE) dihadapkan pada biaya teknologi yang tinggi dan belum sepenuhnya efektif. Kelompok pemerhati lingkungan, seperti Aliansi Zero Waste Indonesia, justru mendorong sistem pemilahan dan pengolahan di sumber, penguatan sistem daur ulang, dan penerapan extended producer responsibility (EPR).
Solusi Berkelanjutan
Transformasi pengelolaan sampah di daerah harus menitikberatkan pada model partisipasi aktif masyarakat, penguatan layanan dasar, dan penegakan regulasi. Dengan anggaran yang kecil, langkah inovatif dan kolaboratif menjadi kunci agar penanganan sampah tak lagi tersandung keterbatasan dana namun berkerangka pada solusi berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Tanpa terobosan kebijakan dan komitmen anggaran yang kuat, tantangan pengelolaan sampah daerah akan terus berulang, membebani lingkungan dan kesehatan masyarakat. Perbaikan mendasar harus menggandeng semua pihak dan berfokus pada model manajemen yang inklusif, terintegrasi, dan adaptif terhadap dinamika lokal. (FG12)

