Bedah Film : Sisi Positif Drama Sky Casthle -->

Header Menu

Bedah Film : Sisi Positif Drama Sky Casthle

Jurnalkitaplus
30/10/25

Assalamu'alaikum Sobat Jkpers!

Kembali lagi di bedah film, dari film yang belum atau sudah kamu tonton, namun, belum menemukan apa yang bisa dipelajari dan bekal untuk kita menghadapi kehidupan ini. Ya! Perihal materi kehidupan belum tentu kamu temukan di pelajaran sekolah bahkan kuliah. Tapi, tenang saja! Kini kami hadir untuk meringkas sebuah drama 'Sky Casthle'

Drama yang penuh tekanan terhadap orangtua ke anak hanya karena ambisi, dan memikirkan terlalu berlebihan untuk masa depan anak yang lebih baik, padahal ada hal yang harus dipertimbangkan setelah mengetahui hal ini :

1. Tekanan Tidak Sama dengan Cinta

"Saya melakukan ini semua demi kamu."

Pelajaran: Banyak orang tua di Sky Castle berkata bahwa mereka menekan anak-anak demi masa depan mereka. Tapi dalam kenyataannya, tekanan ekstrem malah menghancurkan psikologis anak. Saat ini, masih banyak orang tua yang mengukur keberhasilan anak hanya dari prestasi akademik dan universitas ternama. Padahal, zaman kini sudah berubah — kesuksesan bisa hadir dari berbagai jalur, termasuk startup, content creation, freelance, atau vokasi.

Pesan: Tunjukkan cinta lewat penerimaan, bukan hanya ekspektasi.

2. Pendidikan Tidak Sama dengan Kecerdasan Hidup

Anak-anak yang mendapat les dari konsultan elit ternyata tidak otomatis bahagia atau bijaksana.

Pelajaran: Pendidikan seharusnya membentuk karakter, bukan hanya memburu ranking atau gelar. Di tengah gempuran informasi digital dan AI, soft skills seperti empati, komunikasi, dan etika justru lebih dicari. Orang tua dan pendidik perlu fokus membekali anak dengan kecerdasan emosional dan mental resilience, bukan hanya kemampuan menghafal atau nilai sempurna.

Pesan: Pendidikan sejati membentuk manusia, bukan hanya robot IPK tinggi.

3. Orang Tua Perlu Introspeksi

Para orang tua di Sky Castle sering merasa paling tahu tentang masa depan anak.

Pelajaran: Anak punya impian sendiri. Orang tua perlu membuka ruang dialog, bukan sekadar mendikte. Banyak anak zaman sekarang ingin menekuni bidang yang belum tentu disukai orang tua, seperti jadi gamer, Youtuber, desainer UI/UX, atau entrepreneur digital. Orang tua perlu belajar mendengarkan dan ikut belajar tentang pilihan-pilihan baru ini.

Pesan: Anak bukan proyeksi gagal masa muda orang tua. Mereka berhak merancang masa depannya sendiri.

4. Kompetisi Tanpa Batas Itu Melelahkan

Di Sky Castle, kompetisi tidak hanya di sekolah, tapi juga antar keluarga.

Pelajaran: Hidup yang terus membandingkan diri dengan orang lain akan melelahkan, dan pada akhirnya bisa membahayakan kesehatan mental. Di era media sosial, sangat mudah terjebak dalam "kompetisi pamer" — siapa yang kariernya paling cepat naik, siapa yang paling cepat menikah, punya rumah, atau liburan mewah. Padahal, semua orang punya timeline-nya masing-masing.

Pesan: Fokus pada perjalanan hidupmu, bukan hidup orang lain.

5. Kebohongan Sekecil Apapun Bisa Menghancurkan Keluarga

Banyak masalah besar di Sky Castle berawal dari kebohongan kecil dan ambisi yang disembunyikan.

Pelajaran: Kejujuran dalam keluarga adalah pondasi yang tidak boleh digadaikan, meskipun tujuannya terlihat mulia. Banyak hubungan keluarga rusak bukan karena masalah besar, tapi karena komunikasi yang tidak terbuka dan kebohongan yang dibiarkan. Di era serba cepat ini, keterbukaan dan kejujuran menjadi bentuk kasih sayang yang paling penting.

Pesan: Bangun komunikasi yang sehat sejak dini.

6. Bahagia Itu Sederhana, Asal Tidak Membandingkan

Beberapa karakter yang awalnya paling ambisius justru akhirnya menemukan makna hidup dalam kesederhanaan.

Pelajaran: Hidup bukan soal pencapaian, tapi soal arti. Di tengah kecepatan hidup dan ambisi yang tinggi, banyak orang kini kembali mencari makna: self-healing, slow living, mental health, dan keseimbangan hidup makin jadi nilai utama.

Pesan: Bahagia itu bukan siapa paling kaya atau sukses, tapi siapa yang paling damai dengan dirinya sendiri.

Kegagalan orangtua jangan jadikan sebuah ketakutan sebagai tameng 'ini baik untukmu, Nak!' padahal seorang anak perlu bertanggungjawab penuh atas apa yang diinginkan orangtua. Lalu saya tanya, "lantas bila kamu sebagai orangtua meninggal dan membiarkan anakmu memegang hak sepenuhnya dari yang kau bangun, apa itu tidak menyakitkan dirinya? Dan menjadikannya bukan seorang pemuda/I yang bertanggungjawab. Padahal kamu sendiri yang meminta anakmu harus mengikuti kemauan mu?"

FAI (32)