Bedah Film : Sisi Positif Serial Sosmed -->

Header Menu

Bedah Film : Sisi Positif Serial Sosmed

Jurnalkitaplus
08/10/25

Assalamu'alaikum Sobat Jkpers!

Kembali lagi di bedah film, dari film yang belum atau sudah kamu tonton, namun, belum menemukan apa yang bisa dipelajari dan bekal untuk kita menghadapi kehidupan ini. Ya! Perihal materi kehidupan belum tentu kamu temukan di pelajaran sekolah bahkan kuliah. Tapi, tenang saja! Kini kami hadir untuk meringkas sebuah serial 'Sosmed '

Siapa bilang film Indonesia membosankan? Karena banyak film lokal karya anak bangsa kita ada pelajarannya. Jika memang waktumu terlalu berharga untuk menonton film lokal, setidaknya jangan anggap remeh dari pelajaran yang bisa kamu baca di website ini :

1. Autentisitas Lebih Penting dari Estetika

Tokoh utama merasa perlu menjaga image dan followers, bahkan menyembunyikan identitas atau pura-pura bahagia hanya demi konten.

Pelajaran penting: Banyak anak muda di tahun merasa "tertinggal" karena tidak punya estetika feed yang seragam, outfit OOTD, atau lokasi liburan keren.  Bahkan banyak orang yang kehilangan jati diri karena terlalu mengejar citra. Jadi diri sendiri adalah bentuk kebahagiaan tertinggi. Daripada mengedit hidup untuk sosial media, lebih baik hidup nyata yang tenang dan jujur.

2. Validasi Sosial Bukan Ukuran Harga Diri

Salah satu karakter merasa sangat bahagia saat viral, tapi merasa hampa saat engagement turun. Ia merasa tidak dihargai jika tidak ramai dibicarakan.

Pelajaran penting: FOMO (Fear of Missing Out) sangat tinggi. Banyak remaja merasa kurang berharga jika tidak banyak like, views, atau pujian. Kesehatan mental terganggu karena membandingkan diri dengan "kesuksesan" orang lain di internet. Validasi terbaik adalah dari diri sendiri dan orang-orang terdekat yang mengenalmu apa adanya. Dunia digital sering palsu, tapi harga dirimu nyata.

3. Cyberbullying Bisa Menghancurkan, Meski Tidak Terlihat

Karakter mengalami depresi karena komentar jahat yang terus-menerus datang. Tidak ada yang tahu, karena di luar dia tetap terlihat "baik-baik saja".

Pelajaran penting: Hate comment masih dianggap biasa, padahal bisa bikin orang trauma sosial, menarik diri, bahkan menyakiti diri sendiri. Banyak kasus bunuh diri remaja yang dipicu bullying online. Setiap kata punya dampak. Di balik layar ada manusia nyata yang bisa hancur karena komentar jahat. Bijaklah sebelum mengetik.

4. Popularitas Tidak Sama dengan Kebahagiaan

Beberapa karakter berambisi terkenal, lalu sadar bahwa semakin terkenal, semakin tinggi tekanan dan kehilangan privasi.

Pelajaran penting: Banyak influencer burnout karena tuntutan terus tampil sempurna dan aktif. Banyak orang merasa kehilangan arah setelah popularitas turun. Terkenal itu bisa membuat lelah. Jangan ukur kesuksesan dari exposure semata. Ukur dari ketenangan dan makna hidupmu.

5. Kehidupan Nyata Lebih Berarti dari Dunia Maya

Karakter makin menjauh dari sahabat dan keluarga karena terlalu fokus pada "dunia online".

Pelajaran penting: Banyak orang lebih banyak ngobrol di DM daripada ngobrol tatap muka dengan keluarga sendiri. Makan bareng tapi semua sibuk scroll TikTok. Waktu bersama keluarga, teman nyata, dan percakapan jujur jauh lebih bernilai daripada 10 ribu likes.

6. Perlu Literasi Digital Sejak Dini

Ada karakter yang tidak tahu batas etika dalam posting dan malah menyebar aib orang lain.

Pelajaran penting: Anak-anak dan remaja pegang gadget sejak SD, tapi belum paham etika, privasi, dan batas menyebarkan informasi. Banyak pelanggaran hukum karena asal posting tanpa tahu akibatnya. Literasi digital itu penting: tahu mana yang pantas di-post, tahu batas privasi, dan tahu dampak hukum dari internet. Jangan asal viralkan sesuatu.

7. Semua Orang Punya Cerita di Balik Layar

Karakter terlihat bahagia dan sempurna di sosial media, tapi sebenarnya menyimpan trauma, tekanan keluarga, atau masalah pribadi.

Pelajaran penting: Banyak orang terlihat "perfect" di Instagram, tapi ternyata berjuang dengan kesehatan mental atau tekanan finansial. Kita mudah iri atau menghakimi, padahal tidak tahu cerita lengkap seseorang. Jangan langsung menilai orang dari story atau caption. Belajarlah untuk empati dan tidak cepat berasumsi.

Jadi, siapa bilang kami yang besar di zaman teknologi ini bisa sesantai itu bahkan dianggap lemah, justru dari kita kecil saja sudah diberikan banyak hantaman dari dunia digital yang dianggap aman-aman saja, tapi mulut bisa lebih berbisa dan menciptakan kenangan buruk bagi anak tersebut kemungkinan bisa selamanya. Tahun ini bahkan sebelumnya, ketika banyak orang hidup lewat layar, justru dari serial ini sebagai pengingat untuk menjadi manusia seutuhnya walaupun sulit—karena kita tidak hanya dituntut lingkungan keluarga, sekolah, kuliah, kerja—bahkan dunia virtual.

FAI (32)